Yang Punya Uang

Penulis

Sabtu, 7 April 1984 00:00 WIB

SEBUAH majalah Polandia bernama Veto baru-baru ini menulis: "Kita harus berhenti mencurigai mereka yang punya uang." Mencurigai? Siapa yang mencurigai? Banyak orang, rupanya. Polandia tak termasuk negeri miskin, tapi menjadi kaya memang suatu perkecualian yang mencolok dan membikin jutaan orang mengintip. Hidup tidak mudah bagi mayoritas. Seorang wartawan Amerika pernah berkunjung ke sebuah sudut Kota Warsawa. Di sana, di sebidang lapangan rumput, terbentuklah pasar yang sebenarnya cerminan sebuah ekonomi yang sayu. "Seorang gadis menyodorkan, selama sekian jam, selembar selendang kumal. Seorang laki-laki menjajakan sehelai kemeja. Selusinan wanita berdiri, masing-masing mengepit sebuah mantel bekas. Sepasang sepatu diangkat laki-laki yang satu, setube tapal gigi dipegang yang lain." "Aku hampir saja mengeluarkan air mata di pasar ini," tulis wartawan itu dengan nada marah dan sedih. Wartawan itu, A.M. Rosenthal dari The New York Times, memang tak berpura-pura menulis obvektif. Tulisannya penuh dengan kecaman - dengan sikap seorang Amerika kaya yang tak terbiasa mengalami sosialisme. Apalagi sosialisme yang sedang payah. Apalagl sosialisme yang menaruh harga sesisir pisang terlampau tinggi buat kebanyakan rakyat. Dengan kata lain: sosialisme yang, dalam kata-kata Majalah Veto, "berada dalam krisis yang mendalam". Begitu dalam krisis itu, hingga orang mulai berpikir kembali tentang cara dan tujuan-tujuannya. Majalah Veto, misalnya, menyarankan agar orang-orang yang punya uang tak dihambat-hambat. Alasan: karena mereka "orang-orang yang berusaha meningkatkan suplai barang dan jasa". Betapa menarik. Sebuah majalah Polandia tiba-tiba bersuara seperti kita semua, ketika berada dalam krisis. Pada saat dana terbatas dan kebutuhan terus meningkat, kita pun mulai menggamit, dengan wajah terang, "mereka yang punya uang" untuk menyelamatkan. Barangkali ini memang dasawarsa yang kebelet. Barangkali ini memang dasawarsa yang terganggu oleh terlampau ributnya semangat sama rata dan sosialisme. Orang mulai bersedia memaafkan orang-orang kaya, yang punya modal dan punya niat untuk kaya terus. Barangkali ini memang masa Gilderisme. Gilderisme - dari George Gilder, tentu saja, orang yang berkata tentang kapitalisme dengan wajah merona. "Kapitalisme", tulisnya dalam Wealth and Poverty yang terbit 1981 (dan langsung dibaca Ronald Reagan yang tak gemar membaca itu), "bermula dengan membcri." Produksi kapitalis, kata Gilder, mengandung keyakinan: keyakinan kepada tetangga, kepada masyarakat, kepada jalannya alam semesta. Bukankah si pemilik modal berusaha tanpa jaminan kompensasi, tanpa balasan anugerah? Laba adalah surprise, bukan seperti upah. Ini ikhtiar yang menempuh risiko. Seakan-akan tak ada nafsu serakah. Seakan-akan sang pemilik modal adalah kesatria yang dengan tekad besar menembus hutan untuk menyelamatkan kita semua. Dalam kenyataan, Du Pont yang bermodal sekian milyar itu menelan Conoco, perusahaan besar yang satu bergabung dengan perusahaan besar yang lain, dan para pemimpinnya sibuk mendesak pemerintah agar memberikan proteksi. Kapitalisme rupanya memang tak identik dengan "pasar bebas". Orang yang punya modal, seperti halnya kita semua, senang untuk tetap menang - kalau bisa dengan mudah. Tapi Gilderisme yang keliru itu penting: ia memberi dongeng lain tentang orang-orang yang punya uang, yang selama ini dianggap berdosa. Bukankah Keynes juga pernah bilang, "Lebih baik orang jadi tirani atas rekeningnya di bank daripada atas warga negara yang lain"? Kekurangan Keynes di situ, tentu saja, ia tak melihat hubungan rekening bank dengan nasib orang lain di luar bank antara kekayaan dan kekuasaan, antara keberuntungan suatu kelompok dan iri hati kelompok yang satu lagi. Di Polandia, seperti ditulis Newsweek 26 Maret 1984, ada orang-orang yang mampu membeli pisang dan orang-orang yang tidak. Yang pertama berlibur ke Mragowo di timur laut, berkilau dengan Porsche dan Mercedes. Yang kedua menonton. Sosialisme di Polandia memang sedang sakit gigi. Tapi sayang sekali sosialisme ini (seperti halnya kapitalisme yang di Barat itu) telah menjanjikan Porsche dan pisang bagi setiap orang - sebab di situlah terletak legitimasi politiknya: penerimaan rakyat kepadanya sebagai sistem. Semangat egaliter yang menghendaki persamaan dan pernerataan memang suka ribut. Tapi siapa yang bisa mengelakkannya di zaman sekarang? Goenawan Mohamad

Berita terkait

Eks Menteri Keamanan Panama Menang Pilpres dengan Dukungan Mantan Presiden

11 hari lalu

Eks Menteri Keamanan Panama Menang Pilpres dengan Dukungan Mantan Presiden

Eks menteri keamanan Panama memenangkan pilpres setelah menggantikan mantan presiden Ricardo Martinelli dalam surat suara.

Baca Selengkapnya

Kepala Bappenas Sanjung Pemerintahan Jokowi: Ekonomi RI Stabil di Kisaran 5 Persen

12 hari lalu

Kepala Bappenas Sanjung Pemerintahan Jokowi: Ekonomi RI Stabil di Kisaran 5 Persen

Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa menyanjung pemerintahan Presiden Jokowi karena pertumbuhan ekonomi RI stabil pada kisaran 5 persen.

Baca Selengkapnya

PBB: Kehancuran Bangunan di Gaza Terburuk Sejak PD II, Butuh Biaya Rekonstruksi Hingga US$40 Miliar

15 hari lalu

PBB: Kehancuran Bangunan di Gaza Terburuk Sejak PD II, Butuh Biaya Rekonstruksi Hingga US$40 Miliar

PBB melaporkan kehancuran perumahan di Gaza akibat serangan brutal Israel sejak 7 Oktober merupakan yang terburuk sejak Perang Dunia II.

Baca Selengkapnya

10 Negara Termiskin di Dunia Berdasarkan PDB per Kapita

22 hari lalu

10 Negara Termiskin di Dunia Berdasarkan PDB per Kapita

Berikut ini daftar negara termiskin di dunia pada 2024 berdasarkan PDB per kapita, semuanya berada di benua Afrika.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani Bertemu Managing Director IFC, Apa Saja yang Dibicarakan?

26 hari lalu

Sri Mulyani Bertemu Managing Director IFC, Apa Saja yang Dibicarakan?

Sri Mulyani melakukan pertemuan bilateral dengan Managing Director IFC Makhtar Diop di Washington DC, Amerika Serikat. Apa saja yang dibicarakan?

Baca Selengkapnya

Prabowo Bertemu Tony Blair Bahas Strategi Pengentasan Kemiskinan hingga Pemberdayaan Ekonomi Lokal

29 hari lalu

Prabowo Bertemu Tony Blair Bahas Strategi Pengentasan Kemiskinan hingga Pemberdayaan Ekonomi Lokal

Tony Blair dan Prabowo Subianto berdiskusi membahas isu-isu global dan strategi untuk mewujudkan visi Indonesia menjadi negara maju

Baca Selengkapnya

Muhadjir Effendy Sebut Anggaran Rp 496,8 Triliun untuk Perlinsos Sudah Disetujui DPR

43 hari lalu

Muhadjir Effendy Sebut Anggaran Rp 496,8 Triliun untuk Perlinsos Sudah Disetujui DPR

Muhadjir Effendy menyebut program perlinsos ditujukan untuk menurunkan tingkat kemiskinan masyarakat Indonesia.

Baca Selengkapnya

Muhadjir Effendy Sebut Bansos Penting untuk Dorong Daya Beli Masyarakat Miskin

43 hari lalu

Muhadjir Effendy Sebut Bansos Penting untuk Dorong Daya Beli Masyarakat Miskin

Tak hanya Muhadjir, tiga menteri lain juga turut memberikan keterangan terkait bansos di sidang sengketa pilpres hari ini.

Baca Selengkapnya

Jepang Kucurkan Bantuan untuk Produksi Kakao Berkelanjutan dan Pengentasan Kemiskinan di Gorontalo

54 hari lalu

Jepang Kucurkan Bantuan untuk Produksi Kakao Berkelanjutan dan Pengentasan Kemiskinan di Gorontalo

Bantuan Jepang ini, diharapkan bisa menaikkan pendapatan petani berskala kecil dan mengentaskan kemiskinan di Provinsi Gorontalo

Baca Selengkapnya

Kenaikan Harga Pangan dan Gaji Tak Seimbang, Ekonom Sebut Bisa Tambah Angka Kemiskinan

5 Maret 2024

Kenaikan Harga Pangan dan Gaji Tak Seimbang, Ekonom Sebut Bisa Tambah Angka Kemiskinan

Pemerintah mesti membuat kebijakan yang bisa mengendalikan harga pangan karena bisa menambah jumlah kemiskinan baru.

Baca Selengkapnya