Meloncat

Penulis

Sabtu, 21 Juli 1984 00:00 WIB

CINA harus setingkat Inggris, dalam waktu 15 tahun. Negeri petani itu harus jadi negeri industri, sccara cepat. Sebuah "loncatan besar ke depan" harus diayun .... Mao Zedong, dengan mulut tipis seorang tukang sulap raksasa, mengucapkan itu pada bulan Januari 1958. Lalu seluruh Cina pun bergerak. Sejarah sedang disusun dengan gemuruhnya - sampai suatu ketika orang tersadar bahwa manusia memang tak boleh melecut musim. Sayangnya, kesadaran itu, di Cina waktu itu, terlambat. "Loncatan besar ke depan" Mao adalah loncatan yang akhirnya menabrak dinding Tiongkok, kenyataan yang tua itu. Akibatnya hampir luluh lantak. Seorang ahli baru-baru ini, setelah menghitung cacah jiwa periode 1958 sampai beberapa tahun sesudahnya, memperkirakan 27 juta orang tewas akibat "loncatan besar" itu. Tentu saja tak sekaligus hanya karena pengerahan tenaga massa yang menakjubkan itu. Mungkin pula penghitungan sang ahli meleset. Tapi banyak kesaksian dari masa di akhir tahun 50-an itu berkisah tentang gelombang manusia yang besar dan benturan kesakitan yang panjang. Di tempat-tempat bendungan dibangun, rakyat dihimpunkan seperti onggokan semut. "Barisan tanpa henti laki-laki dan wanita berpakaian biru memenuhi lereng-lereng gunung, bagaikan sebuah arus sungai aneh yang sedang menukar arahnya," demikian tulis seorang Eropa yang berkunjung ke Cina, awal 1958 itu. Sebuah bangsa, sebuah gergasi dari dongeng laiknya, memang tengah bangkit. Ia hendak mengubah total wajah bumi. Komune-komune didirikan. Karena hampir setiap jiwa dikerahkan untuk bekerja di bangunan-bangunan, para petani tak sempat mengolah sawah. Mao pun menggerakkan kader-kader partai buat mendatangkan pekerja kantoran, buruh pabrik, pelajar, mahasiswa, dan lain-lain penduduk kota yang sesak. Mereka diangkut ke daerah pertanian. Bekerja, bekerja, bekerja. Tambur dipalu, kencrengan diadu, serunai ditiup, rakyat dibariskan dalam jumlah berjuta-juta dengan langgam militer, ke sawah, ke bendungan. Para pemimpin partai di tingkat lokal berlomba mencapai target atau kuota. Ada kuota berapa ratus orang harus dimobilisasikan, berapa ribu lalat harus dibunuh, berapa buah generator harus dibikin. Siapa yang enggan, yang tampak ragu akan semangat besar yang ditiupkan Mao, dipanggil ke mahkamah rakyat. Mereka diadili, dan tentu saja hampir tak ada yang tak ditemukan kesalahannya. Langkah yang besar, dengan kemungkinan salah yang besar pula. Suatu harl, Mao memerintahkan agar rakyat membangun "tanur pekarangan". Dalam program ini, jutaan manusia harus menghasilkan besi dan baja dalam tungku-tungku yang didirikan di desa, pabrik, halaman sekolah, di mana saja ada tempat luang. "Negara tanpa baja adalah ibarat orang tanpa tulang," demikian diserukan. Seorang saksi mata yang mengalami sendiri masa itu di Tsinan, ibu kota Shantung, kemudian bercerita kepada Wartawan Stanley Kanow dalam bukunya Mao and China: "Kereta api, truk, bahkan kereta dorong dikerahkan untuk mengangkut bata, batu bara, dan bijih besi dalam rangka gerakan ini. Istri saya dan wanita lain ditugasi memecahkan batu bara dan besi dengan palu logam, dan bekerja 12 jam sehari." Bahkan petani pun dikerahkan bekerja untuk tungku seperti itu, dengan akibat mereka tak punya waktu memperbaiki tanggul irigasi di desa-desa. Akibat lain ialah bahwa bahan besi habis. Tapi demi kuota, para anggota komite partai pun memasuki rumah penduduk, menyita panel, kuali, pagar besi, kunci pintu, dan lain-lain. Rakyat, demi industrialisasi kehilangan alat-alat dapur mereka. Punah. Dan apa hasilnya? Gerakan "tanur pekarangan" tetap tak menghasilkan logam yang berarti. Mobilisasi petani tak menyebabkan sawah dan pengairan terawat. Hutan-hutan gundul dibabat, kayunya untuk tungku, dan pertanian terkoyak luka. "Loncatan Besar ke Depan" itu akhirnya berakhir dengan kelaparan besar. Mao gagal. Ia kemudian disalahkan, antara lain oleh pemimpin partai, seperti Liu dan Deng - yang menyebabkan Mao sakit hati dan kelak membalas dengan dahsyat. Sebab, bagi Mao, impian adalah sah. "Tak ada salahnya menjangkau kebesaran dan sukses," katanya di awal 1958. "Tak ada salahnya merindukan hasil cepat dan keuntungan seketika ...." Dalam hal ini, ia ternyata juga tak luput dari "sindrom Dunia Ketiga". Syah Iran, dengan kepongahan petrodollar, hendak membeli industrialisasi kilat. Mao, dengan ketakaburan mobilisasi rakyat, hendak langsung ke "kemajuan". Keduanya bisa dimaklumi, meskipun keduanya ternyata salah: keliru memilih saat, khilaf memilih kecepatan. Goenawan Mohamad

Berita terkait

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

2 hari lalu

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

Goenawan Mohamad mengatakan etik bukanlah sesuatu yang diajarkan secara teoritis, melainkan harus dialami dan dipraktikkan sehari-hari.

Baca Selengkapnya

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

3 hari lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

11 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

53 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

57 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

58 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.

Baca Selengkapnya

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.

Baca Selengkapnya

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya