Bom

Penulis

Sabtu, 13 Oktober 1984 00:00 WIB

TAK setiap bom bisa membunuh anak yang menangis. Tak setiap bom membinasakan batas antara yang bersalah dan tak bersalah: musuh yang layak dibenci dan seorang bapak yang cuma tengah mencari sesuap nasi. Tapi zaman berubah. Pernah ada masanya, dulu, ketika seorang panglima bahkan melarang para prajuritnya merusakkan pohon-pohon. Yang sipil, tak berdaya, dibiarkan, walaupun mereka di pihak lawan. Yang tak mengangkat senjata dilindungi. Tapi zaman berubah. Dan zaman berubah dengan cepat, dengan ganas, sedih. Di Hiroshima, sesuatu yang mengerikan, total dan tak memilih-milih, telah dijatuhkan kota itu pun luluh lantak 39 tahun-yang lalu, lengkap dengan bayi-bayinya. Selanjutnya adalah teror. Ketakutan tak punya persembunyian lagi di abad ke-20. Ada sekali masanya kita mengenal sebuah tirai - mungkin juga teori yang memisahkan kekerasan yang "adil" dan kekerasan yang "tak adil". Namun, tirai itu pun kini jebol. Tiap pembunuhan bahkan yang sewenang-wenang, seakan pandai menemukan alasan yang beradab. Tiap kesewenang-wenangan punya dalih, kadang-kadang filsafat. kadang-kadang ideoloi atau sekadar statistik. Rasa malu telah kita simpan, jauh-jauh, di kolong yang kelam. Kita hidup dengan wajah suram Stepan Fedorov. Stepan ini adalah Stepan yang diciptakan Albert Camus dalam lakon termasyhurnya tentang teroris Rusia awal abad ini, Les Justes. Sandiwara itu pernah diterjemahkan dan dipentaskan di Indonesia beberapa belas tahun yang lalu, lantas dilupakan. Ia memang cerita pentas yang tak mengesankan. Tapi saya kira kita kini lebih baik mengingatnya kembali. Setidaknya, kita mengingat Stepan. Sebab, Stepan adalah sebuah ide yang berkata dengan yakin tentang teror sebagai teror - bukan sekadar sebuah gaya lain-seorang radikal. Dengan kata lain, tak ada basa-basi. "Kita ini para pembunuh, dan kita telah memilih untuk jadi demikian," katanya kepada teman-temannya seperjuangan. Itulah sebabnya terorisme bukan permainan untuk mereka yang masih repot dengan perasaan moral serta hati nuram. La terreur ne convient pas aux delirats, titik. Maka, orang macam Stepan tak akan bergeming buat melemparkan bom ke tubuh anak-anak sekalipun, asal sang Hertog Agung yang menguasai Rusia bisa ia enyahkan. "Ya, saya memang brutal," katanya, mengakui. "Tapi bagi saya, rasa benci bukanlah sebuah maiman. Kita di sana bukan untuk mengagumi diri. Kita di sana untuk berhasil." Sudah jelas bahwa bagi Albert Camus, sang pengarang, tokoh jenis Stepan adalah tokoh yang merisaukan. Sebab, hanya dialah yang bisa mengucapkan kata bena dengan bagus, dan dengan bagus pula jadi sosok yang mencemooh Ivan Kaliayev. Kaliayev, yang selalu dipanggil Yanek, memang anak muda revolusioner yang bersemangat. Tapi dengan segala sikap patuhnya kepada "Organisasi", Yanek kadang masih menciptakan aturan sendiri. Bagi orang macam Stepan, itu suatu tanda bahwa anak muda itu ikut revolusi hanya lantaran bosan. Ia terlampau romantis. Jika pun tak ada yang disebut "hati nurani", orang macam Yanek tetap akan menyimpannya jauh di dalam. Dan memang itulah yang terjadi. Ketika Yanek petang itu harus melemparkan bom ke kereta sang Hertog Agung, ia tak jadi melakukannya. Ia melihat sesuatu yang tak diperkirakan sebelumnya: ada anak-anak di kereta itu. Dua bocah yang tak tertawa, dua keponakan kecil yang memandang kosong ke depan, dua waah yang sekilas sedih. Yanek terkesiap. "Tanganku mendadak lemah. Anggota badanku gemetar," tuturnya kemudian. Sedetik setelah itu, ia telat sudah. Sang Hertog selamat. Bersalahkah Yanek? Bagi Camus, tidak. "Kau benar," kata Yanek keoada Dora. teman seperjuangan yang juga kekasihnya, "soalnya tak begitu sederhana. Tadinya kusangka bahwa mudah untuk membunuh, bahwa ide saja cukup, dan keberanian. Tapi saya tidak sedemikian besar dan sekarang saya tahu, tak ada bahagianya kebencian itu." Meskipun demikian, dalam kisah ini, Yanek akhirnya tak melarikan diri dari tugas. Ia mati digantung, tak sebagai orang cengeng. Ia hanya tahu, betapapun kerasnya ia berbuat untuk keadilan, "manusia tak hidup hanya dengan keadilan". Dan Camus menampilkannya sebagai hero. Di tahun 1957, beberapa jam setelah menerima Hadiah Nobel, Camus sendiri bahkan seakan mengulang Kaliayev-nya, Ia bicara tentang teror yang-terjadi di jalan-jalan kota masa mudanya, Algiers. Ia tahu, kekerasan itu dilakukan para pejuang kemerdekaan Aljazair. Tapi ia juga tahu bahwa suatu saat bom blsa membunuh ibunya, yang hidup tua di sana. Maka, ia tak bisa bersikap lain: "Saya percaya kepada keadilan, tapi saya akan membela ibu saya di depan keadilan. Mungkin, yang ingin dibelanya bukanlah sebuah cita-cita abstrak, tapi seorang manusia yang benar ada dan tak berdaya. Tapi zaman berubah dan Camus ditertawakan sebagai penjaga sebuah kepentingan. Yanek telah mati. Hanya Stepan yang ketawa suram dengan tepuk tangan di kanan kiri: penghancuran, katanya, adalah sesuatu yang "tak ada batas". Goenawan Mohamad

Berita terkait

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

4 hari lalu

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

Goenawan Mohamad mengatakan etik bukanlah sesuatu yang diajarkan secara teoritis, melainkan harus dialami dan dipraktikkan sehari-hari.

Baca Selengkapnya

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

5 hari lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

14 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

55 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.

Baca Selengkapnya

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.

Baca Selengkapnya

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya