YANG tampak dari api, ketika jilatan itu menghabisi beberapa gedung besar di Jakarta, ialah sebuah cerita tentang birokrasi. Cerita bisa dimulai dari lapangan. Seteiah bekerja keras, setelah 31 mobil dinas pemadam api menderu, setelah 200 orang meloncat, dan memanjat, dan menyemprot, tak ada yang ternyata dapat diselamatkan. Sarinah, gedung yang punva sejarah itu, akhirnya hanya dibiarkan habis - menghitam pelan-pelan. Beberapa hari sebelumnya juga habis sebuah pusat perbelanjaan, sebuah teater, sebuah gudang mesiu .... Dari sinilah yang dulu samar kemudian semakin kelihatan. Di Jakarta, pemerintah kota tak siap dengan sumber-sumber air untuk dinas pemadam api. Orang-orang juga tak siap untuk melakukan sendiri pengamanan tempat hidup dan bekerja mereka. Haruskah kita bicara tentang keteledoran? Tidak, saya kira. Sebab, soalnya lebih dari itu. Jakarta, dalam hari-hari ini, adalah sebuah gap. Di satu pihak ada dunia bisnis swasta yang dengan cepat menderetkan gedung-gedung timggl dan mentereng. Di pihak lain ada birokrasi pemerintahan, yang dengan kalem seakan-akan bisa mengerjakan semuanya. Tapi ketika api menjilat lantai sembilan gedung itu, hanya ini yang bisa diucapkan kepala dinas pemadam kebakaran: "Wah, mati aku." Mengapa ketidakberdayaan itu? Mengapa pemerintah kota (dan kita semua pada umumnya) seakan-akan tak siap untuk hidup menghadapi api? Dan mengapa hampir tak seorang pun yang mencerewetkan perkara ini - sampai terlambat? Barangkali soalnya bukan teknis. Barangkali karena pada kita memang tak pernah jelas betul bagaimana seharusnya hubungan antara birokrasi (di dalamnya termasuk dinas pemadam kebakaran) dan orang-orang di luarnya. Misalnya, haruskah birokrasi itu bekerja buat para pemilik toko? Saya menduga, tidak mudah untuk menjawab "ya". Sebab, birokrasi di Indonesia bukanlah birokrasi yang dilahirkan untuk melayam para pemilik toko - juga tampaknya bukan untuk mereka yang tak punya toko. Aparat yang sangat besar kekuasaannya itu, yang bisa mengasih izin dan mencabut izin itu, seolah-olah makin menegaskan bahwa mereka, pada dasarnya, tak memperoleh kekuasaan karena utang budi. Saya tak tahu dari mana asal dan pangkal kekuasaan itu. Di dunia Barat, di masyarakat kapitalis, konon sumber kekuasaan itu bisa dijejaki: dari hak milik. Kaum pemilik alat-alat produksi, bourgeoisie di lapisan menengah, membayar pajak. Dengan pajak itu mereka membiayai para pemegang kekuasaan. Dari sini mereka mendapatkan hak menentukan arah pemerintah. Dari sini pula datang hak pilih, juga hak untuk dilayani birokrasi. Tak heran bila kaum Marxis cenderung menyimpulkan bahwa birokrasi di suatu negeri adalah birokrasi untuk mengabdi "kelas yang berkuasa". Tapi tentu saja pendapat itu salah. Apa pun asal-usul kekuasaan mereka, ternyata birokrasi akhirnya berkembang mandiri. Mereka punya peta yang tidak searah, dan mereka punya arah yang kurang lebih independen. Tak heran, bila di Amerika, kaum kapitalis yang dibela Ronald Reagan kesal menghadapi mereka, dan di Polandia, kaum buruh yang dibela Lech Walesa marah terhadap mereka. Reagan menginginkan agar negara tak teramat banyak campur tangan. Kaum buruh Polandia menghendaki pemerintah tak teramat mendikte. Jarak tampaknya memang cenderung terbentang antara birokrasi dan sekitarnya. Dan pada suatu keadaan yang memberi peluang kepada birokrasi untuk menghidupi diri mereka sendiri, jarak itu semakin tegas saja. Saya teringat, 20 April 1982, harian Sinar Harapan memuat sebuah ucapan Amirmachmud, waktu itu menteri dalam neeri. Ia ingin "mengoreksi" suatu ucapan, yang mengatakan bahwa "pembangunan itu dilakukan sepenuhnya oleh rakyat". Sebagai bukti, Amir Machmud menunjukkan bahwa sumbangan yang dibayar rakyat untuk pembangunan cuma 8'. Selebihnya adalah hasil usaha pemerintah. Dengan pikiran demikian, bisa dipahami jika birokrasi semakin tidak tergantung kepada tenaga sosial ekonomi di luar diri mereka. Pengawasan akhirnya hanya bisa berasal dari dalam, dan pelayanan akhirnya juga cenderung ditujukan ke sana: ke atas - karena hanya dengan hierarki kontrol bisa berlangsung dan kesalahan diperbaiki. Jadi, mengapa harus birokrasi itu teramat tangkas untuk melayani para pemilik toko? Kenapa harus repot dengan dunia swasta yang nasibnya justru berada di tangan mereka? Dinas pemadam kebakaran itu hanya satu gejala, keterlambatan persiapan mereka juga suatu gejala. Birokrasi akan bergerak bila diri mereka sendiri terancam .... Yang menarik ialah bahwa dalam situasi demikian, dunia di luar birokrasi itu tak juga siap untuk mengambil inisiatif sendiri. Mereka menunggu. Mungkin karena memang mereka sudah terlalu lama diwajibkan menunggu-nunggu. Apabila tak ada kesukarelaan, barangkali itu karena selama ini yang ada hanya paksaan. Tentu saja cerita ini telah menyederhanakan soal. Maklum, api bisa membakar banyak, tapi menerangi hanya sebentar. Goenawan Mohamad