Rodrigo de villa

Penulis

Sabtu, 28 Mei 1983 00:00 WIB

DENGAN pedang terhunus, 30 tahun yang lalu Raden Mochtar berteriak: "Aku Rodrigo de Villa, pahlawan dari Kastilia!" Menakjubkan. Itulah Rodrigo de Villa film Indonesia pertama yang 100% memakai tatawarna. Tapi bukan karena itu film ini kini terasa menakjubkan. Dikenang kembali, ia mencerminkan sesuatu yang mungkin ganjil tapi mungkin pula sudah semestinya: suatu zaman yang barangkali tak akan kembali. Rodrigo de Villa dibuat di Filipina. Bagaimana prosesnya yang persis, tak jelas benar -- kecuali bila nanti ada seorang yang menulis sejarah perusahaan film Persari. Yang pasti, pihak Intonesia -- yakni perusahaan film milik Djamaludin Malik itu rupanya tinggal mengambil oper satu cerita dan sana. Sang pahlawan adalah seorang kesatria dari pedalaman Spanyol, dari sebuah daerah yang nampak rimbun dengan anggur dan zaitun. Di sana Rodrigo berkelana di atas kuda di waktu pagi, memetik gitar dan nyanyi keras-keras. Masa yang melatarbelakanginya adalah masa ketika Andalusia dalam peralihan kekuasaan: kerajaan Islam di Selatan sedang terdesak oleh pasukan Kristen. Tanpa banyak susah payah kita segera tahu di mana Rodrigo berpihak, dan pihak mana yang dimusuhinya (dan dimusuhi penulis skenario). Dalam film ini, akhirnya Rodrigo atau Raden Mochtar merobohkan sejumlah prajurit berpakaian Arab. Itulah, kata sahibul skenario, kemenangan yang mengantar happy ending bagi film ini: Raja Alfonso bergabung lagi dengan Ratu Isabella. "Bawalah mayit-mayit ini ke luar!" teriak Rodrigo sehabis suatu perkelahian di awal film. Mayit, bukan rnayat. Bahasa Indonesia di layar putih itu dari segi penglafalan memang masih berdimik-dimik jalannya. Tapi semua yang melenceng itu berlangsung dengan kalem: seperti halnya Raden Mochtar dibiarkan terus dengan rambutnya yang ikal, Astaman yang sangat berwajah Jawa itu pun hadir sebagai Raja Alfonso, dan Sukarsih yang geulis menurut standar Sunda tapi pesek menurut ukuran Spanyol tampil sebagai Ratu Isabella. Ukuran kecantikan Indonesia tanpa canggung, atau lebih tepat secara nekat, dikenakan ke Laut Tengah. Yang aneh, tak ada rasa gentar untuk nekat seperti itu. Djamaludin Malik sekali sabet memungut begitu saja sebuah cerita yang mungkin cocok buat Filipina yang Katolik-Spanyol tapi agak ganjil buat Indonesia yang Islam-Melayu. Seandainya Rodrigo de Villa dibuat sekarang, pemerintah pasti akan menyetopnya atau organisasi-organisasi Islam akan memprotesnya. Dan para penulis resensi akan terpingkal-pingkal . . . Tapi 30 tahun yang lalu adalah 30 tahun yang lalu. Kita mungkin rada tolol tapi yang pasti lebih toleran terhadap banyak hal ihwal: Raden Mochtar toh dengan yakin tetap memakai kata raden di depan namanya. Film masih suatu permainan, kegiatan yang seakan-akan untuk menebus sebuah masa kanak yang hilang. Film 30 tahun yang lalu memang praktis dunia sejumlah orang dewasa yang tak bertingkah teramat dewasa. Ditambah dengan uang dan teknologi, dari sana lahir segala hal yang dipetik dari fantasi sebelum tidur siang seorang bocah bongsor: bocah yang tadi malam menonton sebuah film Amerika. Tak ada yang menganggapnya teramat serius. Maka, seperti halnya fantasi siang hari itu, ia tak dituntut macam-macam: ia terbang dengan permadani mimpi yang paling cepat. Barang dagangan semata? Ya, dan ia mengiyakannya dengan jujur. Selera kampungan? Ya, dan ia mengatakan, ia tak kenal cita rasa yang lain. Ia tak digertak oleh kepongahan intelektual yang fasih bicara tentang neorealisme atau the new wave. Ia tak ada niat muluk, misalnya, untuk membentuk bangsa, membentuk akhlak, membentuk iman, membentuk optimisme, semangat revolusi, pembangunan, penghijauan, wiraswasta, antinarkotik, dan sebagainya. Memang agak dungu kedengarannya seperti sandiwara kampung yang kita kenal dulu itu. Tapi kegembiraannya, langkahnya yang ringan, dan cita-citanya yang pendek memberinya kemerdekaan yang kini justru sulit didapat. Kita kini begitu yakin seakan film dapat mengubah dunia. Kita lupa bahwa sutradara "progresif" seperti Costa Gavras pun tidak yakin itu akan terjadi "Gila," katanya kepada majalah The Rolling Stones, "mengharapkan film dapat mengubah dunia." Mungkin bukan sekadar nostalgia, bila ada yang terasa hilang dengan datangnya harapan besar. Setidaknya perasaan kita ketika melihat Raden Mochtar menghunus pedang: ini sebuah permainan.

Berita terkait

Asal Usul World Water Forum, Konvensi Dunia yang Khusus Membahas Masalah Air

1 menit lalu

Asal Usul World Water Forum, Konvensi Dunia yang Khusus Membahas Masalah Air

Masalah krisis air yang menghantui dunia kreap dibahas dalam World Water Forum, musyawarah khusus di tingkat dunia.

Baca Selengkapnya

Gerindra Ungkap Gelora Tak Tolak PKS Gabung ke Pemerintahan Prabowo-Gibran

5 menit lalu

Gerindra Ungkap Gelora Tak Tolak PKS Gabung ke Pemerintahan Prabowo-Gibran

Gerindra mengatakan Gelora tak tolak PKS gabung ke pemerintahan Prabowo.

Baca Selengkapnya

Wisuda Telkom University Bandung Kini Libatkan Penerjemah Berbahasa Isyarat

6 menit lalu

Wisuda Telkom University Bandung Kini Libatkan Penerjemah Berbahasa Isyarat

Disebutkan, banyak mahasiswa Telkom University Bandung adalah teman-teman disabilitas. Inklusi diklaim jadi fondasi utama.

Baca Selengkapnya

Seri Poco F6 Kembali Kantongi Sertifikasi, Peluncurannya Semakin Dekat

14 menit lalu

Seri Poco F6 Kembali Kantongi Sertifikasi, Peluncurannya Semakin Dekat

Poco F6 muncul di sertifikasi dengan nomor model "24069PC12G".

Baca Selengkapnya

Vivo Y38 5G Resmi Dirilis di Taiwan, Ini Spesifikasinya

15 menit lalu

Vivo Y38 5G Resmi Dirilis di Taiwan, Ini Spesifikasinya

Vivo Y38 5G memiliki chipset Snapdragon 4 Gen 2 dan RAM LPDDR4x 8 GB dengan penyimpanan internal UFS 2.2 256 GB.

Baca Selengkapnya

Kasus Mayat dalam Koper Bali, Tersangka Sempat Berupaya Hilangkan Barang Bukti

15 menit lalu

Kasus Mayat dalam Koper Bali, Tersangka Sempat Berupaya Hilangkan Barang Bukti

Tersangka kasus mayat dalam koper di Bali berupaya menghilangkan barang bukti.

Baca Selengkapnya

Banjir Selutut Orang Dewasa Menggenangi Sepaku, Begini Penjelasan Otorita IKN

19 menit lalu

Banjir Selutut Orang Dewasa Menggenangi Sepaku, Begini Penjelasan Otorita IKN

Juru Bicara Otorita IKN Troy Pantouw membenarkan banjir menggenangi Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim, Jumat, 3 Mei 2024.

Baca Selengkapnya

Alasan PDIP Sebut Oposisi Perlu Ada dalam Pemerintahan

24 menit lalu

Alasan PDIP Sebut Oposisi Perlu Ada dalam Pemerintahan

PDIP menilai oposisi diperlukan dalam sistem pemerintahan.

Baca Selengkapnya

Atasi Penerima KIP Kuliah yang Tidak Tepat Sasaran, Kemendikbud Minta Kampus Evaluasi

29 menit lalu

Atasi Penerima KIP Kuliah yang Tidak Tepat Sasaran, Kemendikbud Minta Kampus Evaluasi

Viralnya kasus dugaan penerima KIP Kuliah bergaya hedon, Kemendikbudristek akan mengambil langkah.

Baca Selengkapnya

Dubes RI Resmikan Pesantren Pertama NU di Jepang

36 menit lalu

Dubes RI Resmikan Pesantren Pertama NU di Jepang

Duta Besar Republik Indonesia untuk Jepang Heri Akhmadi meresmikan pesantren pertama Nahdlatul Ulama (NU)

Baca Selengkapnya