Impian Zaken Kabinet

Penulis

Senin, 28 April 2014 01:19 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Bambang Arianto, Peneliti bulaksumur empat yogyakarta

Politik elektoral post-Soeharto semakin mengarah ke sistem multipartai yang kian terfragmentasi (highly fragmented multiparty system), implikasinya membangun koalisi dalam sistem presidensial-multipartai menjadi semakin sulit dan ribet. Kesalahan poros koalisi pada pemerintahan SBY kerap menghantui calon presiden (capres) dalam kontestasi pilpres 2014.

Itulah mengapa, capres Joko Widodo (Jokowi) kerap mengartikan koalisi sebagai bentuk kerja sama antar-partai yang mengedepankan kesamaan platform dan ideologi partai. Bukan sebatas bagi-bagi jatah kursi kekuasaan dan transaksional.

Pilihan dilematis ini dibenarkan oleh Mainwaring dan Shugart (1997) yang menilai ketika presidensialisme dikombinasikan dengan sistem partai yang terfragmentasi atau sistem multi-partai, maka kecenderungan muncul presiden minoritas dengan dukungan legislatif yang lemah. Implikasinya, presiden kerap berhadapan dengan lembaga legislatif yang antagonistik dan tidak mampu menggerakkan agenda pemerintahan dengan baik, bahkan menggiring pada kegaduhan.

Kecemasan juga dapat dilihat ketika beberapa partai yang memiliki dukungan suara lumayan di pemilihan legislatif tapi minim figur, dan karena itu mereka acap kali berpikir untung-rugi. Akibatnya, beberapa partai mulai mendompleng dan menggantungkan nasibnya pada figur Jokowi dan Prabowo yang memiliki magnet terbesar.

Masih tingginya elektabilitas personal Jokowi membuat daya tawarnya masih sangat menggiurkan partai-partai lain untuk berkoalisi. Eksesnya dapat kita lihat, konflik internal mulai terjadi di beberapa partai. Sebut saja, sengkarut internal yang tengah menghinggapi PPP akibat keberpihakan kepada salah satu capres tertentu. Begitu pula internal Partai Golkar, di mana terdapat faksi yang ingin mencongkel pencapresan Aburizal Bakrie, akibat kalah jauh dari elektabilitas Jokowi dan Prabowo.

Singkat kata, persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia sudah terlalu berat, sehingga yang dibutuhkan adalah koalisi yang dapat melahirkan kabinet profesional, bukan kabinet transaksional-berisikan elite partai yang minus kompetensi. Pembentukan zaken kabinet yang berisikan para teknokrat yang memiliki kompetensi di bidangnya sebagai pembantu presiden akan lebih baik ketimbang berisi menteri-sebatas kepentingan koalisi.

Namun, dalam historiografi ketatanegaraan Indonesia, zaken kabinet (kabinet ahli) bisa berjalan efektif hanya terjadi dalam hasil Pemilu 1972, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Kala itu, perolehan suara Golongan Karya (Golkar) di atas 70 persen pada rezim Presiden Soeharto, sehingga Presiden Soeharto bisa membentuk zaken kabinet.

Zaken kabinet hasil Pemilu 1997 juga akhirnya tumbang satu tahun kemudian, yakni pada 21 Mei 1998, setelah Presiden Soeharto dipaksa mundur dari kursi presiden. Sedangkan zaken kabinet yang pernah dibentuk di era pemerintahan Presiden Sukarno (Kabinet Djuanda, 1957) juga mengalami nasib tragis akibat situasi politik di dalam negeri yang terus bergolak akibat terjadinya pemberontakan dan isu perebutan Irian Barat.

Singkat kata, impian zaken kabinet versi Jokowi memang bukan hal yang mudah, apalagi raihan suara PDIP tidak memenuhi 50 persen. Walhasil, semoga usul ini bukan sebatas isapan jempol belaka di tengah sengkarut wajah partai politik yang cenderung bermuka dua dan enggan menjadi oposisi.


Berita terkait

NU Minta Partai Kubu 02 yang Ingin Gabung Tak Dijatah Kursi Ini

28 April 2019

NU Minta Partai Kubu 02 yang Ingin Gabung Tak Dijatah Kursi Ini

Ketua NU Jatim Marzuki Mustamar meminta Jokowi tidak memberikan jabatan Menteri Agama dan Menteri Pendidikan kepada partai oposisi.

Baca Selengkapnya

Deretan Tokoh Ekonomi yang Disebut Prabowo Bakal Mengisi Kabinet

13 April 2019

Deretan Tokoh Ekonomi yang Disebut Prabowo Bakal Mengisi Kabinet

Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto mengumumkan puluhan nama yang menurut dia merupakan putra-putri terbaik bangsa.

Baca Selengkapnya

Donald Trump Kehilangan Setengah Perempuan dalam Kabinetnya

10 April 2019

Donald Trump Kehilangan Setengah Perempuan dalam Kabinetnya

Pengunduran diri Menteri Keamanan AS Kirsjten Nielsen menambah daftar perempuan yang mundur dari kabinet Donald Trump.

Baca Selengkapnya

Jokowi Akan Tagih Laporan Pencairan Dana untuk Korban Bencana

16 Oktober 2018

Jokowi Akan Tagih Laporan Pencairan Dana untuk Korban Bencana

Jokowi mengumpulkan para menteri dan kepala lembaga di Istana Negara, untuk rapat kabinet paripurna membahas tentang bencana alam.

Baca Selengkapnya

7 Menteri Kabinet Jokowi yang Maju Caleg Diminta Fokus Kerja

19 Juli 2018

7 Menteri Kabinet Jokowi yang Maju Caleg Diminta Fokus Kerja

Menurut Pratikno, ketujuh menteri di Kabinet Kerja Jokowi yang menjadi caleg harus tetap fokus kerja meski nanti akan sibuk dengan jadwal kampanye.

Baca Selengkapnya

Menteri Rangkap Jabatan, Moeldoko: Tidak Usah Dikhawatirkan

24 Januari 2018

Menteri Rangkap Jabatan, Moeldoko: Tidak Usah Dikhawatirkan

Moeldoko berkeyakinan menteri yang merangkap jabatan di kepengurusan partai tetap akan bekerja dengan baik.

Baca Selengkapnya

Reaksi Beberapa Partai Soal Kabar Resuffle Kabinet Jilid 3

3 Januari 2017

Reaksi Beberapa Partai Soal Kabar Resuffle Kabinet Jilid 3

Sejumlah partai politik bergerak cepat menyiapkan kader mereka,
seiring santernya kabar rencana perombakan Kabinet Kerja jilid 3

Baca Selengkapnya

Masih Rangkap Jabatan, Apa Alasan Menteri Puan?  

3 Februari 2015

Masih Rangkap Jabatan, Apa Alasan Menteri Puan?  

Puan Maharani berdalih sudah tak aktif dalam kegiatan PDIP.

Baca Selengkapnya

Rapor Menteri Jokowi: Susi Juara, Menteri Jonan?

2 Februari 2015

Rapor Menteri Jokowi: Susi Juara, Menteri Jonan?

Angka kepuasan terhadap Susi cukup besar ketimbang tingkat kepuasan terhadap menteri lainnya.

Baca Selengkapnya

Langgar Tenggat Waktu, Jokowi Ancam Copot Menteri  

21 Januari 2015

Langgar Tenggat Waktu, Jokowi Ancam Copot Menteri  

"Kalau enggak sanggup, ya sudah. Banyak kok yang mau jadi

menteri," kata Jokowi.

Baca Selengkapnya