MUDAH-mudahan alunan lagu takbir, yang selalu terdengar sedih di hari-hari Lebaran, mengusap tubuh anak-anak ini. Mudah-mudahan selalu ada alasan kegembiraan dalam hidup mereka yang telanjang. Atau sekadar sebuah suasana, yang tidak duniawi, yang melagukan pengakuan bahwa banyak orang di dunia yang sebenarnya berdiri di pihak mereka. Barangkali mereka akan turut ke lapangan: kecil-kecil, dengan peci kecil atau mukena pemberian orang. Barangkali pula mereka tak sempat, tetap berdinas dari emper toko ke emper toko, dengan atau tanpa, konon, "koordinasi", sambil mengejek sikap kita yang kesuci-sucian. Namun entah mengapa, alunan takbir Lebaran selalu terdengar sedih. Mungkin karena ibadat ini dilakukan justru sebagai pernyataan syukur sesudah puasa, latihan mawas diri dan identifikasi dengan yang papa. Mungkin pula karena ibadat ini dahulu dimulai di tengah suasana perang, dengan harapan perlindungan dari ancaman dan kemelaratan. Waktu itu, seingat kita, tak ada anakanak seperti ini. Mereka sudah satu bagian dari kelompok orang-orang yang sangat bersahaja. Dan kini, di tengah suara takbir yang sedih, mereka mengganggu bayangan kita. Mereka ini jugalah yang sudah mengganggu pesta Natal dalam cerita Eropa: menggigil di tengah salju dalam jas rombengan, tersuruk kecil dan miskin di satu sudut gerbang gereja. Mereka, 'anak-anak Tuhan' dalam ucapan Mahatma Gandhi, datang dari emper-emper seluruh dunia. Dan muncul di depan pintu kita. Persis ketika kita hendak mengiris ketupat pertama.