TEMPO.CO, Jakarta -Ali Rif'an, Peneliti Pol-Tracking Institute
Simbol memang tidak bisa mengubah bangsa secara langsung, karena tidak memiliki energi konkret. Akan tetapi, simbol memiliki kekuatan abstrak, semacam informasi yang bisa menggerakkan, yang jika digunakan dengan baik bisa mengubah suatu bangsa.
Dalam sejarah negara-negara di dunia, para pemimpin besar selalu memproduksi simbol sebagai modalitas untuk menggerakkan masyarakat. Mahatma Gandhi, misalnya, lekat dengan simbol anti-kekerasan, Sukarno punya simbol anti-imperialisme, Nelson Mandela sebagai simbol anti-rasisme, Khomeini sebagai simbol revolusi Islam, serta Bung Hatta sebagai simbol koperasi Indonesia.
Pertanyaannya, bagaimana dengan simbol yang dimiliki oleh para capres mendatang? Tentu ada banyak simbol yang telah diproduksi, khususnya capres dari PDI Perjuangan, Joko Widodo (Jokowi), dan capres dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
Jokowi, misalnya, dikenal dengan simbol "pro-wong cilik", sementara Prabowo "pemimpin kuat". Itu terlihat dari gaya komunikasi Jokowi serta gestur dalam kesehariannya yang sederhana, sementara Prabowo Subianto terkesan berkelas. Saat berkampanye, Jokowi seringblusukandan berjalan kaki, sementara Prabowo Subianto menunggang kuda dan memakai helikopter, seperti saat memimpin kampanye di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), 23 Maret lalu.
Simbol-simbol yang dibangun oleh kedua capres di atas agaknya tidak sembarangan, alias memiliki dasar filosofis dan historis. Sebab, simbol sejatinya adalah rangkuman gagasan dan arah perjuangan. Dengan simbol "pro-wong cilik", orientasi mendasar kepemimpinan Jokowi adalah bagaimanangopeni(mengurus) rakyat, menyapa, dan memberdayakan mereka, serta mengangkat harkat dan martabat rakyat kecil.
Masyarakat, yang selama ini tak memiliki akses dengan presiden, di pemerintahan Jokowi, barangkali akan mendapatkan kemudahan. Mungkin Jokowi akan seperti mendiang Gus Dur yang mengubah "Istana Kepresidenan" menjadi "Istana Rakyat". Sedangkan dengan simbol "pemimpin kuat", Prabowo Subianto ingin membawa bangsa ini menjadi "macan Asia".Orientasi mendasar Prabowo dalam kepemimpinannya ke depan barangkali adalah bagaimana membuat bangsa ini disegani oleh negara-negara lain.
Prabowo tipe pemimpin yang kuat dari sisi gagasan dan narasi, sementara Jokowi tipe pemimpin yang bekerja dari hati dan tanpa basa-basi. Gaya bahasa Jokowi sangat alami dan merakyat, sementara gaya bahasa Prabowo lantang dan seperti bangsawan.
Tapi menariknya, meski antara Jokowi dan Prabowo terlihat kontras, keduanya merupakan antitesis dari gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). GayablusukanJokowi, misalnya, antitesis dari kepemimpinan SBY yang terkesan penuh citra. Sedangkan gaya lantang Prabowo menjadi antitesis kepemimpinan SBY yang terkesan "lembek". Itulah kenapa kedua tokoh ini mendapat sambutan positif dari masyarakat, khususnya sambutan terhadap Jokowi dengan elektabilitas tak tertandingi.
Pertanyaannya, antara gaya Jokowi dan Prabowo, mana yang lebih cocok memimpin roda pemerintahan mendatang? Setiap dari kita pasti punya jawabannya. Yang jelas, masyarakat kita adalah masyarakat majemuk, tentu selera capres sangat berbeda-beda. Adanya simbol dalam politik sangat berguna untuk memberikan disparitas antara satu kandidat dan kandidat lainnya. Selain itu, simbol berguna untuk menarik simpati pemilih. Simbol ibarat merek, semakin bagus akan diminati pembeli. Tentu saja antara merek dan kualitas barang harus sepadan. Karena, ketika simbol tidak dibarengi kualitas, yang terjadi adalah kekuatan horor. Julia Kristeva dalamPower of Horrormengatakan horor adalah kekuatan sistematis yang secara berkelanjutan mengembangkan cara untuk menjadikan pihak lain sebagai obyek kebencian (Piliang, 2005: 125).
Tentu kita tidak ingin horor politik-seperti saling serang dan menikam-terjadi dalam pilpres. Masa kampanye pilpes nanti jangan sampai diisi oleh kampanye hitam, baik saling sindir melalui puisi maupun melalui ungkapan-ungkapan berbau rasis yang bisa memprovokasi masyarakat. Perang simbol sangat diperlukan, tapi perang otot jangan. Sebab, jika politik sudah menggunakan otot, simbol positif dapat berubah menjadi simbol negatif. Seperti Qarun yang terkenal dengan simbol kerakusan manusia, Qabil sebagai simbol kekerasan manusia, Hitler sebagai simbolgenosida,Usamah bin Ladin-yang oleh George W. Bush dikatakan sebagai simbol terorisme global-dan lain-lain.
Akhir kata, kita tak ingin di antara salah satu capres kita nanti ada yang mendapatkan (kutukan) simbol negatif. Publik ingin pilpres mendatang berjalan pada jalurnya. Hindari kampanye hitam, apalagi politik otot.
Berita terkait
Survei Capres Muhaimin Iskandar Rendah, PKB: Masih Ada Peluang
27 Desember 2021
Dalam survei tersebut Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar hanya dipilih 0,1 persen responden.
Baca SelengkapnyaDPR Dorong KPU dan Bawaslu Antisipasi Potensi Masalah Pemilu 2024
22 Desember 2021
Komisi II DPR meminta KPU dan Bawaslu Provinsi Jawa Barat mengantisipasi kesulitan pemilih menggunakan hak pilih, lantaran diprediksi akan banyak surat suara.
Baca SelengkapnyaSetya Novanto: Golkar Siap Menangkan Jokowi di Pilpres 2019
27 Maret 2017
Setya Novanto mengungkap hitung-hitungan apabila Jokowi kembali berhadapan dengan Prabowo dalam pilpres 2019.
Baca SelengkapnyaGagal Pilkada DKI, AHY Punya Modal Besar Ikut Pilpres 2019
22 Maret 2017
Qodari mengatakan masyarakat cukup mengenal figur Agus Yudhoyono atau AHY ini
Baca SelengkapnyaTiap Parpol Bisa Ajukan Calon Presiden, Jokowi: Masih Proses
16 Januari 2017
RUU Permilu Diperkirakan selesai sekitar bulan empat ke depan.
Sindrom I Want SBY Back, Sinyal Ani Yudhoyono Maju Capres?
10 September 2015
Ada spekulasi bahwa Demokrat memunculkan sindrom I Want SBY Back untuk mempersiapkan Ani Yudhoyono.
Baca SelengkapnyaJokowi Tak Butuh, Relawan Bakal Membubarkan Diri
28 Oktober 2014
Sampai saat ini mereka masih menunggu kepastian dari Jokowi.
Baca SelengkapnyaJokowi Dilantik, Relawan Jokowi-JK Berevolusi
13 Oktober 2014
Relawan Jokowi-JK turut mengontrol realisasi program pemerintah di pedesaan.
Baca SelengkapnyaFahri: Koalisi Pro-Prabowo Tidak Berencana Pilpres MPR
9 Oktober 2014
"Enggak ada agenda itu. Makanya, tidak perlu ditanyakan,"
kata
Fahri Hamzah soal agenda mengubah pemilihan presiden dari
langsung menjadi lewat MPR.
Giman Membawa Ratusan Pesan untuk Jokowi
30 September 2014
Dalam perjalanannya, pria yang kesehariannya berjualan kue putu keliling itu membawa buku catatan yang berisi ratusan pesan ditulis tangan.
Baca Selengkapnya