Lawanlah Permulaannya!

Penulis

Selasa, 3 Juni 2014 00:24 WIB

Seno Gumira Ajidarma
wartawan

Mengapa militerisme yang diterapkan ke dalam dunia politik perlu mendapat pengawasan? Bagaimanakah faktor kekerasan, sebagai unikum dalam militerisme, akan (dapat) dihilangkan? Jawabannya terdapat dalam perbincangan totaliterisme.

Seperti diketahui, totaliterisme merupakan monster, yang dalam sejarah telah dipraktekkan oleh Nasional-sosialisme Jerman, Komunisme Uni Soviet, ataupun Khmer Merah di Kamboja. Apakah bedanya pemerintahan totaliterisme dengan despotisme, tirani, kediktatoran, dan otokrasi?

Suatu usaha teoretisasi atas totaliterisme berikut memang nyaris seperti menyamakannya: (1) ideologi totalistik; (2) partai diperkuat polisi rahasia dalam fungsi teror; (3) kontrol monopoli atas: (a) komunikasi massa; (b) persenjataan operasional; (c) organisasi rencana ekonomi terpusat (Friedrich dalam Barber, 1969: 126).

Meskipun perumusan itu tampak sudah seperti totaliterisme, tetap saja mendapat kritik seperti ini: (1) hanya merupakan konsep relatif, yakni bisa sama saja dengan kediktatoran totaliter, yang seperti gejala politik lain, tidak merupakan istilah absolut; (2) masih mirip dengan konsep para tetangganya: otokrasi, kediktatoran, dan tirani, ketika seharusnya berbeda; (3) meskipun obyek teoretisasinya adalah pemerintahan dan rezim, perumusannya terlalu umum, sehingga bisa diterapkan bagi khalayak luas dan pemerintah aktual mana pun; (4) terbangun dalam formulasi sentimen moral, karena istilah "teror" dan "negara polisi" jelas mengimbaskan ketidaksetujuan (Orr dalam DeCrespigny & Cronin, 1975: 138-9).

Jadi, apa yang luput dari teoretisasi itu, setelah polemik seru antara Hayes, Brzezinski, Friedrich, dan Schapiro, dalam diskusi khusus tentang totaliterisme, yang dianggap begitu perlu setelah melahirkan makhluk-makhluk mengerikan seperti Hitler, Stalin, dan Pol Pot? Hannah Arendt (1906-1975) memang telah mengusut asal-usul totaliterisme sebagai ideologi dalam sejarah, dimulai dari kasus antisemitisme, yang sangat menarik sebagai esai, tapi belum juga menjadi jawab atas pertanyaan: mengapa suatu rezim bisa menjadi totaliter?

Penyelidikan dari sudut bahasa ternyata menemukan asal-usul yang relevan: istilah totalitar digunakan pertama kali di Jerman pada 1930, oleh Ernst Juenger, bagi pengertian mobilisasi militer! (Schapiro, 1972: 13). Dengan referensi ini, terbangun suatu "dalil": totaliter = mobilisasi militer. Apabila dalil ini dipertimbangkan bagi gagasan khalayak termobilisasi (mobilized society), ternyata hasil perumusannya mampu memisahkan pemerintahan totaliter dari sindroma sentralisasi rezim, seperti despotisme, tirani, kediktatoran, dan otokrasi.

Dengan kata lain, sumber empirik totaliterisme adalah pengalaman perang modern. Dalam teoretisasi berikut, terlacak bagaimana militerisme telah menjadi sumbernya: (1) partai monopolistik, tempat para perwira memiliki komando eksklusif; (2) khalayak massa sebagai bawahannya; (3) keterpisahan partai dan massa dikurangi sampai menjadi hubungan setara berdasarkan tujuan-dan penolakan atas "sesuatu"-bersama; (4) tujuan dan penolakan bersama, menghadirkan "musuh", baik eksternal maupun internal, kepada siapa "perang" dilancarkan, dimulai dari negara lain, revisionis, sampai kemiskinan; (5) suatu ideologi diperlukan untuk melakukan identifikasi kawan dan lawan, untuk memuji maupun mengutuknya; (6) arah ekonomi terpusat, sesuai dengan standar perang modern.

Nah, ke manakah terserapnya kekerasan dalam militerisme? Disebutkan bahwa khalayak totaliter bukanlah tentara, tapi dipahami sebagai seperti tentara yang siaga. Tentu lantas menjadi rancu, mana tentara termobilisasi, mana khalayak sipil (Orr, ibid.:142).

Itu teorinya, adapun prakteknya, sejarah mencatat bahwa totaliterisme akan selalu berkecenderungan: (1) berusaha menaklukkan dunia; (2) tidak peduli hukum dan tanpa merasa bersalah melanggar hak asasi manusia; (3) mendirikan kamp tahanan kolosal; (4) tidak menghitung jumlah korban demi ideologinya; (5) melaksanakan kejahatan nyata yang lebih kreatif dari imajinasi awam; (6) atas nama utopia, hak-hak sipil-bahkan hak-hak manusia-secara sistematik dilecehkan [Ballestrem/Magnis-Suseno dalam Arendt, 1995 (1979): xiii].

Harap diperhatikan, rezim totaliter tumbuh dari situasi non-totaliter. Memang terdapat kondisi sosial ekonomi yang mendukungnya. Situasi mematangkan itu ada, bahkan dibuat seperti tampak matang melalui agitasi, propaganda, dan kampanye hitam!

Akan halnya tendensi-tendensi totaliter, orang Romawi kuno memberi jalan untuk mencegahnya: principiis obsta!-lawanlah permulaannya! (Magnis-Suseno, ibid.: viii-xxii). Jangan sampai ada rezim totaliter (lagi!) di negeri ini.


Berita terkait

Pilkada 2024: Syarat Calon Independen Baik untuk Gubernur, Wali Kota atau Bupati

3 hari lalu

Pilkada 2024: Syarat Calon Independen Baik untuk Gubernur, Wali Kota atau Bupati

Pilkada 2024, terdapat sejumlah perbedaan persyaratan pendaftaran bagi calon gubernur independen dengan calon wali kota atau bupati independen.

Baca Selengkapnya

Syarat Calon Independen di Pilkada 2024, Segini Jumlah Dukungan Harus Terpenuhi

4 hari lalu

Syarat Calon Independen di Pilkada 2024, Segini Jumlah Dukungan Harus Terpenuhi

Calon pemimpin daerah yang memilih jalur calon independen wajib memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut.

Baca Selengkapnya

Sudirman Said Batal Jadi Calon Independen di Pilkada Jakarta, Relawan Jajaki Peluang Ini

5 hari lalu

Sudirman Said Batal Jadi Calon Independen di Pilkada Jakarta, Relawan Jajaki Peluang Ini

Relawan Sudirman Said, Teguh Stiawan, menjajaki peluang lain untuk Sudirman Said agar tetap maju di Pilkada Jakarta.

Baca Selengkapnya

Mengenal Fungsi Oposisi dalam Negara Demokrasi

19 hari lalu

Mengenal Fungsi Oposisi dalam Negara Demokrasi

Isu tentang partai yang akan menjadi oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran kian memanas. Kenali fungsi dan peran oposisi.

Baca Selengkapnya

Daftar 16 Partai Politik yang Gugat Sengketa Pileg ke MK, dari PDIP hingga PKN

22 hari lalu

Daftar 16 Partai Politik yang Gugat Sengketa Pileg ke MK, dari PDIP hingga PKN

Sejumlah partai politik mengajukan sengketa Pileg ke MK. Partai Nasdem mendaftarkan 20 permohonan.

Baca Selengkapnya

Mendekati Pilkada 2024, Begini Riuh Kandidat Kuat Sejumlah Parpol

24 hari lalu

Mendekati Pilkada 2024, Begini Riuh Kandidat Kuat Sejumlah Parpol

Mendekati Pilkada 2024, partai-partai politik mulai menyiapkan kandidat yang akan diusung. Beberapa nama telah diisukan akan maju dalam pilkgub.

Baca Selengkapnya

Bamsoet Ingatkan Pentingnya Pembenahan Partai Politik

49 hari lalu

Bamsoet Ingatkan Pentingnya Pembenahan Partai Politik

Partai politik memegang peran penting dalam menentukan arah kebijakan negara.

Baca Selengkapnya

Pilihan Amerika Serikat Hanya Punya 2 Partai Politik, Ini Penjelasannya

49 hari lalu

Pilihan Amerika Serikat Hanya Punya 2 Partai Politik, Ini Penjelasannya

Amerika Serikat sebagai negara demokrasi terbesar di dunia memilih dominasi hanya dua partai politik yaiutu Partai Republik dan Partai Demokrat.

Baca Selengkapnya

Prabowo Dinilai Butuh Koalisi Raksasa Usai Penetapan Pemilu 2024, Berikut Jenis-jenis Koalisi

55 hari lalu

Prabowo Dinilai Butuh Koalisi Raksasa Usai Penetapan Pemilu 2024, Berikut Jenis-jenis Koalisi

LSI Denny JA menyatakan Prabowo-Gibran membutuhkan koalisi semipermanen, apa maksudnya? Berikut beberapa jenis koalisi.

Baca Selengkapnya

8 Parpol ke Senayan Penuhi Parliamentary Threshold di Pemilu 2024, Apa Bedanya dengan Presidential Threshold?

57 hari lalu

8 Parpol ke Senayan Penuhi Parliamentary Threshold di Pemilu 2024, Apa Bedanya dengan Presidential Threshold?

PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, NasDem, PKS, Demokrat, dan PAN penuhi parliamentary threshold di Pemilu 2024. Apa bedanya dengan Presidential Threshold?

Baca Selengkapnya