Agama Calon Presiden dan Biologi Evolusi

Penulis

Selasa, 3 Juni 2014 22:52 WIB

Dyna Rochmyaningsih
Jurnalis Sains Independen

Menjelang pemilihan presiden Juli mendatang, banyak orang mempermasalahkan kedalaman agama kedua kandidat. Izinkan saya menelaah fenomena ini dari perspektif biologi evolusi. Para ilmuwan kini mulai meyakini bahwa agama dan politik merupakan bagian dari sifat dasar manusia (human nature). Mereka percaya bahwa, seperti segala sifat manusia yang lain, politik dan agama pun bersifat hereditary, yang berarti diwariskan melalui DNA.

Profesor Darren Scheiber, political neuroscientist dari Universitas Exeter, Inggris, dan salah satu pengusung teori hereditas dalam politik dan agama, mengakui bahwa masih banyak yang belum diketahui tentang bagaimana biologi menentukan keputusan politik. Namun penelitian terhadap orang-orang kembar yang memiliki kecenderungan sikap yang sama, baik itu dalam politik maupun agama, meyakinkan para ilmuwan bahwa sifat yang mengatur soal kecenderungan politik dan agama juga diwariskan.

Dalam perspektif evolusi, politik dapat ditemui pada banyak makhluk hidup lain, seperti lumba-lumba, gajah, hyena, dan simpanse. Mereka berinteraksi dengan anggota dalam kelompok mereka untuk mendapatkan kekuasaan dalam komunitasnya. Hewan-hewan ini juga bisa membentuk koalisi.

Berbeda dengan politik, agama merupakan suatu hal yang baru ditemui pada spesies manusia modern( Homo sapiens). Richard Sosis, seorang ahli biologi evolusi, mengemukakan sebuah teori tentang fungsi agama dalam evolusi manusia. Tidak seperti sejawatnya dari Inggris, ahli biologi evolusi Richard Dawkins, yang mengatakan bahwa agama adalah parasit, Sosis justru berteori bahwa agama adalah sebuah bentuk adaptasi bagi keberlangsungan hidup spesies manusia modern.

Bagi Sosis, agama merupakan sebuah alat untuk mencapai kesatuan sosial (social cohesion). Dengan mempercayai Tuhan yang sama, manusia bisa lebih mudah bekerja sama.

Peran agama sebagai penyatu sosial ini terlihat jelas dalam sejarah umat manusia, walaupun sekarang peran agama sebagai penyatu sosial mulai luntur di negara-negara Barat yang perlahan meninggalkan agama. Di Amerika, misalnya, pemilihan presiden bukan lagi menyoal tentang agama, melainkan lebih ke arah ideologi partai, liberal atau konservatif, yang berwujud kebijakan-kebijakan yang sering kali bertolak belakang.

Namun, di negara-negara Islam, peran agama sebagai penyatu sosial terasa masih sangat kental. Banyak umat Islam, termasuk mereka di Indonesia, kecewa atas keterpurukan negara-negara muslim sekarang, dan kekecewaan ini berakhir pada sebuah kerinduan akan kejayaan masa lampau. Dalam pandangan mereka, Islam, sebagai identitas, haruslah dimiliki oleh pemimpin negara muslim.

Isu agama ini semakin mencuat menjelang pemilu presiden 2014 dan, menurut saya, masih menjadi faktor signifikan saat memutuskan siapa calon yang dipilih.

Keputusan memilih presiden, sebagaimana keputusan lain dalam hidup manusia, didasari pertimbangan rasional dan emosional. Pertimbangan rasional dapat berwujud dari analisis visi dan misi kedua calon presiden. Sedangkan pertimbangan emosional bisa berwujud kecintaan kepada partai pengusung, rasa kagum terhadap calon presiden, dan lain-lain. Meskipun rasio dan emosi saling bekerja sama untuk membuat sebuah keputusan, pastilah ada yang lebih dominan di antara keduanya.

Mengingat kebanyakan rakyat Indonesia tidak melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi, dan mengingat para calon presiden kita mengusung visi dan misi yang normatif, saya ragu bahwa akan banyak warga Indonesia menggunakan analisis rasional dalam pilpres nanti. Kebanyakan pasti akan menggunakan jalan pintas (short cut) dalam memilih. Jalan pintas ini merupakan analisis emosional di mana sikap keagamaan (religious behavior) bermain dan menjadi dominan.

Dengan memanfaatkan sifat manusiawi ini, banyak dari politikus kita menggunakan agama untuk menyetir kontroversi politik melalui kampanye hitam. Mereka memanfaatkan sifat natural manusia, yang cenderung memihak agamanya untuk menyerang kandidat lain. Apa yang akan terjadi setelah kampanye hitam ini?

Profesor Darren Scheiber, dalam komunikasinya dengan penulis, mengatakan: "Jika seorang politikus atau partai ingin sukses menggunakan agama untuk tujuan politik mereka, mereka haruslah terlihat 'ikhlas', bukan 'politis' (memiliki maksud tertentu). Bagaimanapun, para politikus hanya merepotkan diri sendiri jika mereka terlalu bersekutu dengan figur atau kelompok agama tertentu. Hal ini karena mereka bisa membentuk koalisi yang terlalu terbatas. Keterbatasan semacam ini akan mematikan bagi mereka."

Banyak informasi di media sosial mengenai keagamaan kandidat yang terlihat sangat politis. Alih-alih ikhlas, masyarakat melihat ibadah mereka sebagai aksi politik. Dan, menurut Darren, hal itu justru tidak menguntungkan bagi mereka.

Pilpres Juli mendatang akan menunjukkan kesahihan argumen Darren dan Sosis. Apakah rakyat Indonesia benar-benar sedang menggunakan agama sebagai penyatu sosial?

Berita terkait

Survei Capres Muhaimin Iskandar Rendah, PKB: Masih Ada Peluang

27 Desember 2021

Survei Capres Muhaimin Iskandar Rendah, PKB: Masih Ada Peluang

Dalam survei tersebut Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar hanya dipilih 0,1 persen responden.

Baca Selengkapnya

DPR Dorong KPU dan Bawaslu Antisipasi Potensi Masalah Pemilu 2024

22 Desember 2021

DPR Dorong KPU dan Bawaslu Antisipasi Potensi Masalah Pemilu 2024

Komisi II DPR meminta KPU dan Bawaslu Provinsi Jawa Barat mengantisipasi kesulitan pemilih menggunakan hak pilih, lantaran diprediksi akan banyak surat suara.

Baca Selengkapnya

Setya Novanto: Golkar Siap Menangkan Jokowi di Pilpres 2019  

27 Maret 2017

Setya Novanto: Golkar Siap Menangkan Jokowi di Pilpres 2019  

Setya Novanto mengungkap hitung-hitungan apabila Jokowi kembali berhadapan dengan Prabowo dalam pilpres 2019.

Baca Selengkapnya

Gagal Pilkada DKI, AHY Punya Modal Besar Ikut Pilpres 2019

22 Maret 2017

Gagal Pilkada DKI, AHY Punya Modal Besar Ikut Pilpres 2019

Qodari mengatakan masyarakat cukup mengenal figur Agus Yudhoyono atau AHY ini

Baca Selengkapnya

Tiap Parpol Bisa Ajukan Calon Presiden, Jokowi: Masih Proses

16 Januari 2017

Tiap Parpol Bisa Ajukan Calon Presiden, Jokowi: Masih Proses

RUU Permilu Diperkirakan selesai sekitar bulan empat ke depan.

Baca Selengkapnya

Sindrom I Want SBY Back, Sinyal Ani Yudhoyono Maju Capres?

10 September 2015

Sindrom I Want SBY Back, Sinyal Ani Yudhoyono Maju Capres?

Ada spekulasi bahwa Demokrat memunculkan sindrom I Want SBY Back untuk mempersiapkan Ani Yudhoyono.

Baca Selengkapnya

Jokowi Tak Butuh, Relawan Bakal Membubarkan Diri

28 Oktober 2014

Jokowi Tak Butuh, Relawan Bakal Membubarkan Diri

Sampai saat ini mereka masih menunggu kepastian dari Jokowi.

Baca Selengkapnya

Jokowi Dilantik, Relawan Jokowi-JK Berevolusi

13 Oktober 2014

Jokowi Dilantik, Relawan Jokowi-JK Berevolusi

Relawan Jokowi-JK turut mengontrol realisasi program pemerintah di pedesaan.

Baca Selengkapnya

Fahri: Koalisi Pro-Prabowo Tidak Berencana Pilpres MPR  

9 Oktober 2014

Fahri: Koalisi Pro-Prabowo Tidak Berencana Pilpres MPR  

"Enggak ada agenda itu. Makanya, tidak perlu ditanyakan,"
kata


Fahri Hamzah soal agenda mengubah pemilihan presiden dari



langsung menjadi lewat MPR.

Baca Selengkapnya

Giman Membawa Ratusan Pesan untuk Jokowi

30 September 2014

Giman Membawa Ratusan Pesan untuk Jokowi

Dalam perjalanannya, pria yang kesehariannya berjualan kue putu keliling itu membawa buku catatan yang berisi ratusan pesan ditulis tangan.

Baca Selengkapnya