IA kawin dengan seorang balerina. Waktu itu umurnya sudah 42 tahun, dan dia sarjana ekonomi terkemuka di Cambridge. Tak ayal, di universitas kelas atas yang kuno dan rapi itu pun sebagian orang mengernyitkan alis. Tapi John Maynard Keyles, yang dilahirkan di kampus pusat ilmu itu, (ayahnya juga seorang ahli ekonomi yang terpandang, ibunya pun lulusan sana), sudah biasa dengan kontroversi. Di masa muda dia termasuk warga lingkungan Bloomsbury. Lingkungan yang tersohor itu adalah kumpulan eksklusif para cendekiawan cemerlang yang bijak bestari, yang aristokratis yang berani bersuara dan berbuat apa saja -- asal untuk persahabatan dan keindahan. Namun itu semua hanya tetek bengek awal yang menggegerkan dari Keynes. Di akhir 1935 terbit karyanya, The General Theory of Employment, Interest and Money. Dia menghantam -- dalam buku yang sangat teknis dan kering ini -- kearifan ekonomi yang sedang berlaku: bahwa dalam suasana depresi dan "zaman meleset" itu, keadaan akan bisa sembuh dengan sendirinya, bila pemerintah tak mencoba mengatur perekonomian. Nonsens, kata Keynes. Dalam masa depresi, waktu dan hukum pasar bebas tak dengan sendirinya akan bisa membereskan kesulitan. Pengangguran tak akan teratasi, hanya dengan mengharapkan orang mau bekerja pada upah rendah karena terpaksa. Sebab di masa malaese tak ada upah yang sedemikian rendah hingga bisa menghapus pengangguran. Lalu Keynes pun berbicara tentang peran dinamis dari para investor dan pemerintah. Dalam masa depresi, menurut The General Theory, hal yang harus dilakukan ialah: atau kaum swasta memperluas investasi, atau pemerintah menciptakan pengganti bagi kekurangan-kekurangan investasi swasta. Jika krisisnya ringan, bisa dibuat kebijaksanaan moneter yang memudahkan kredit dan bunga yang rendah, untuk merangsang dunia usaha. Jika krisisnya berat, pemerintah bisa membiarkan diri defisit, dengan mengusahakan lapangan kerja atau membantu kelompok masyarakat yang terpukul. Tentu saja, ahli ekonomi yang di tahun 1924-26 menulis The End of Laissez-Faire itu pada akhirnya dianggap sebagai penemu jalan tengah, antara kaum Marxis di satu pihak dan pembela kapitalisme gaya lama di lain pihak. Keynes sendiri menyodorkan resep yang dirumuskannya sebagai alternatif antara "kekolotan" dan "revolusi". Dan dengan bantuannya pula Harold Macmillan, tokoh politik Inggris itu, menyusun program yang bernama The Middle Way Syahdan, Keynes meninggal 21 April 1946. Namanya kekal, namun di tahun 191 ini gema pikirannya mulai dikecam di negara yang pernah secara bersemangat menerapkannya: Amerika Senkat. Pemikir "neo-konservatif" terkemuka Irving Kristol misalnya, pendukung bersemangat supply-side economics yang kini dibawakan oleh Presiden Reagan, menyalahkan para ekonom pengikut Keynes dengan ketus: menurut Kristol, mereka "memandang ekonomi dari atas -- dari kacamata pemerintah, yang bertindak sebagai deus ex machina' dewa penolong yang suka tiba-tiba muncul dalam teater Yunani kuno. Dan bagi orang seperti Kristol, yang bertepuk tangan dua kali buat kapitalisme, apa sebenarnya yang dihasilkan para pengikut Keynes? Pertama: keangkuhan, di balik teknik matematika dan perhitungan ruwet para ahli. Kedua: keangkuhan, bahwa "makro-manajer" (para pengawas sistem ekonomi) lebih pintar dan lebih punya sikap luhur ketimbang para "mikro-manajer" (para pengawas masing-masing satuan usaha). Yang menarik, "keangkuhan" Keynesian itu pula yang dikecam oleh sebagian pemikir Marxis. Seorang cendekiawan priayi dari Bloomsbury memang agak jauh dari kaum proletar maupun kaum bisnis, dan jalan tengah Keynes juga bisa dikritik dari segi lain: ia tak melenyapkan konflik antara semangat kapitalis dengan sosialis ia mengaburkannya. Namun jalan tengah nampaknya selalu menggoda untuk ditemukan --atas nama Keynes atau yang lain. Konon jalan tengah bukanlah jalan yang gampang. Tapi orang toh suka juga berbicara tentang sebuah "jalan tengah" sebagai cara termudah untuk berkata "tidak" tanpa menjadi terlalu sunyi. Kami tengah menyiapkan laporan utama -- mengenai Ekonomi Pancasila -- ketika sebuah berita duka tiba. Menjelang tengah hari Jum'at itu, ketika gerimis turun di sebagian Jakarta, Buya Hamka, ulama besar Indonesia, wafat. Inna lillahi wainna ilaihi roji'un. Kami sadar bahwa suatu masa kelak, saat menggetarkan tersebut, pasti akan tiba. Tapi kami tidak menyangka, jika Buya Hamka, yang selalu menjawab pertanyaan kami dengan sabar dan penuh asih, demikian cepat menghadap Allah SWT. Di hari pemakamannya itu, Syu'bah Asa dibantu Yudhistira ANM Massardi dan sejumlah wartawan TEMPO, menyiapkan tulisan mengenai peri kehidupan almarhum semasa hayat sampai menjelang hari akhir. (Pokok & Tokob) Sementara itu, Susanto Pudjomartono dan Fikri Jufri, bersamaan dengan saat sahur menurunkan laporan utama. Kedunya, yang turun melakukan wawancara, juga mendapat bantuan bahan dan penulisan dari Martin Aleida, Saur Hutabarat, Najib Salim, A. Muthalib dan Syahrir Chili. Dan Goenawan Mohamad, melengkapi laporan utama dengan menyajikan bayangan Presiden Soeharto mengenai ekonomi Indonesia di masa depan. (Ekonomi & Bisnis) Kepada para pembaca, yang baru saja menyelesaikan ibadah puasa: "Minal 'aidin walfaizin -- Maaf lahir dan bathin."