Achmad Fauzi,
Aktivis Multikulturalisme
Mungkinkah kerukunan sejati antarumat beragama pada masa mendatang sekonyong-konyong bisa tercipta melalui peranti regulasi formal? Saya katakan, tidak! Sebab, muatan regulasi, entah berbentuk undang-undang maupun perda, berpotensi menciptakan sekat yang menghambat ruang interaksi kultural umat beragama. Alih-alih melahirkan suasana kerukunan yang berbasis kejujuran dan kesadaran sejati, kerangka filosofis dari istilah kerukunan justru semakin sumir karena masyarakat terfragmentasi oleh formalitas yang stagnan. Pola hubungan antarumat beragama hanya akan bersumbu pada pasal-pasal mati, bukan pada etika, ajaran, dan kearifan lokal.
Ini berarti kita sedang bicara kesadaran yang tumbuh. Sesuatu yang lebih sulit diciptakan daripada sekadar merumuskan draf hukum. Padahal, watak kerukunan yang lahir dari proses regulasi formal cenderung menghasilkan kesadaran koersif dan semu. Proses akomodasi kerukunan koersif dilaksanakan melalui beleid dengan kekuatan daya paksanya, sehingga salah satu pihak (baca: minoritas) yang berinteraksi berada dalam keadaan lemah dibanding pihak mayoritas.
Salah satu ancaman yang menghambat agenda kerukunan adalah soal regulasi pendirian rumah ibadah. Di banyak tempat, terdapat temuan belied pendirian tempat ibadah yang harus disetujui, salah satunya oleh pemuka agama setempat. Aturan ini menyulitkan kelompok minoritas karena pemberi stempel izin pendirian adalah tokoh agama mayoritas.
Karena itu, menciptakan kerukunan secara organik dalam aturan diskriminatif hanya akan melahirkan persoalan baru. Ruang masyarakat sipil untuk turut serta membangun interaksi antarumat beragama semakin sempit, sehingga mereka kehilangan kapasitas yang dalam jangka panjang akan melemahkan tingkat keberdayaannya. Umat beragama juga semakin jauh dari spirit persatuan karena terfragmentasi oleh batasan-batasan peraturan yang kaku. Karena itu, lebih baik negara memberikan mandat kepercayaan kepada para pemuka agama dan tokoh masyarakat untuk menggunakan kapasitasnya meretas budaya kerukunan yang berbasis pada kearifan lokal. Nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini tergerus oleh mesin modernisasi perlu dihidupkan kembali dalam tata pergaulan masyarakat. Di Maluku, misalnya, ada budaya Pela Gandong.
Tanpa aturan berkedok kerukunan pun secara kultural masyarakat bisa membangun titik temu sumbu-sumbu kesadaran bersama. Pemerintah cukup memberikan ruang ekspresi kepada entitas masyarakat sipil untuk membangun secara otonom kehidupan umat beragama yang lebih baik dan harmonis.
Pemerintah juga sebaiknya berfokus memberikan jaminan ketenangan dan keamanan kepada warganya dalam menjalankan ibadah. Akar intoleransi di Indonesia sejatinya tumbuh dalam situasi penegakan hukum yang lemah. Praktek kekerasan dengan modus operandi yang berbeda-beda terus membuka ruang baru karena terjadi pembiaran negara. Akibatnya, jaminan keamanan ruang publik dan hak privat warga negara berada dalam situasi rentan. Seandainya organ negara yang memiliki otoritas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat berfungsi maksimal, sungguhpun potensi alamiah naluri tribalisme dimiliki setiap orang, kecenderungan untuk berbuat kecamuk bisa dikendalikan.
Berita terkait
Miniatur Toleransi dari Tapanuli Utara
32 hari lalu
Bupati Nikson Nababan berhasil membangun kerukunan dan persatuan antarumat beragama. Menjadi percontohan toleransi.
Baca SelengkapnyaIndonesia Angkat Isu Literasi Keagamaan Lintas Budaya di Sidang Dewan HAM PBB
48 hari lalu
Isu tersebut dinggap penting diangkat di sidang Dewan HAM PBB untuk mengatasi segala bentuk intoleransi dan prasangka beragama di dunia.
Baca SelengkapnyaAsal-usul Hari Toleransi Internasional yang Diperingati 16 November
16 November 2023
Setiap 16 November diperingati sebagai Hari Toleransi Internasional.
Baca SelengkapnyaTerkini Metro: Pangdam Jaya Ajak Remaja Masjid Jaga Toleransi, BMKG Minta Warga Depok Waspada Kekeringan
18 Juni 2023
Kepada remaja masjid, Pangdam Jaya mengatakan pluralisme sebagai modal kuat dalam bekerja sama untuk menjaga persaudaraan dan kedamaian di Indonesia.
Baca SelengkapnyaMas Dhito Puji Toleransi Umat Beragama Desa Kalipang
24 Mei 2023
Berbudaya itu, bagaimana budaya toleransi beragama, menghargai umat beragama lain, budaya tolong menolong.
Baca SelengkapnyaNgabuburit di Tepi Danau Jakabaring Sambil Lihat Simbol Toleransi Beragama
1 April 2023
Di akhir pekan atau hari libur nasional, Jakabaring Sport City menjadi pilihan destinasi liburan dalam kota yang seru.
Baca SelengkapnyaKetua MPR Ajak Junjung Tinggi Nilai Toleransi Agama
16 Februari 2023
Indeks perdamaian global terus memburuk dan mengalami penurunan hingga 3,2 persen selama kurun waktu 14 tahun terakhir.
Baca SelengkapnyaBamsoet: MPR dan MUI Siap Gelar Sosialisi Empat Pilar MPR
2 Februari 2023
Sosialisasi itu akan mengangkat tema seputar peran organisasi keagamaan dalam menjaga kerukunan dan kondusivitas bangsa.
Baca SelengkapnyaWakil Kepala BPIP Dorong Pemkab Klaten dan FKUB Raih Penghargaan
16 November 2022
Klaten disebut sebagai miniaturnya Indonesia. Di tengah keberagaman agama tetap memiliki keharmonisan, persatuan dan kesatuan.
Baca SelengkapnyaSiswi Muslim Jadi Ketua Osis di SMA Katolik St. Fransiskus Saverius Ruteng
28 Oktober 2022
Aprilia Inka Prasasti terpilih sebagai ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) di SMA Katolik St. Fransiskus Saverius Ruteng Nusa Tenggara Timur.
Baca Selengkapnya