Menggadang Suara Tionghoa

Penulis

Jumat, 27 Juni 2014 01:24 WIB

Christine Susanna Tjhin,
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial, Centre for Strategic and International Studies (CSIS)

Setelah acara temu muka capres dengan sebuah asosiasi Tionghoa di Jakarta, minggu lalu, sejumlah media mengisyaratkan gemuruh dukungan Tionghoa untuk Prabowo. Bau amis rasisme pun sempat merebak di media sosial. Tionghoa dituduh oportunis politik dan memanfaatkan uang untuk membeli pengaruh.

Faktanya, komunitas Tionghoa itu heterogen. Klasifikasi totok dan peranakan sudah lama tidak laik, apalagi dikotomi simplistik Tionghoa kaya pro-Prabowo atau Tionghoa miskin pro-Jokowi. Tulisan ini tidak berpretensi meramal akan ke mana suara Tionghoa dalam Pilpres nanti, karena bukan itu esensi partisipasi politik Tionghoa.

Peningkatan partisipasi politik Tionghoa sejak reformasi patut dihargai. Di tataran hukum, peraturan diskriminatif warisan Orde Baru hampir semua dipreteli. Di tataran sosial politik, perjuangan masih ruwet. Trauma Mei 1998 masih merupakan momok terbesar. Sejumlah kelompok kepentingan mendaur ulang trauma ini demi kepentingan Pilpres nanti.

Munculnya Babinsa di wilayah mayoritas Tionghoa kemarin adalah kasus terbaru. Beruntung TNI sigap merespons. Hal itu tidak seburuk tingkah sejumlah tokoh Tionghoa yang gegabah berkoar di media, mengklaim mewakili masyarakat Tionghoa dalam mendukung capres tertentu. Siapa pun dari pihak mana pun yang seenaknya mengklaim mampu atau menuduh yang lain menggiring suara Tionghoa ke kubu mana pun, itu hanya sedang menipu orang lain dan dirinya sendiri. Ironisnya, dagangan dungu itu masih laku.

Banyak yang menepis suara Tionghoa karena, menurut Sensus 2010 (yang akurasinya dipertanyakan), populasinya tidak mencapai 1,2 persen. Banyak yang mengincar kontribusi Tionghoa sebatas fulus. Tapi demokrasi bukan monopoli mayoritas dan bukan dagangan.

Kekuatan partisipasi politik Tionghoa ada pada kemampuan mengarus-utamakan "masalah Cina" ke dalam kerangka tantangan keberagaman Indonesia. Pengawalan proses legislasi RUU Kewarganegaraan dulu merupakan kisah menarik, di mana komunitas Tionghoa, dengan keterbatasannya, beraliansi dengan beragam komunitas demi mengarus-utamakan kasus SBKRI ke dalam kerangka perlindungan warga negara.

Isu hangat seputar Pilpres 2014 adalah "Prabowo: Dalang atau Kambing Hitam Mei 1998?". Enam belas tahun tanpa penyelesaian hukum membuat spekulasi meradang. Ketimbang menggunakan proses hukum dalam mencari kebenaran, para politikus memilih proses politik yang manipulatif, intimidatif, dan temporer (saat pemilu saja) untuk menggaet suara Tionghoa. Ada sekelompok kecil Tionghoa yang ingin lupa-entah takut, lelah, atau tengik dan haus kekuasaan.

Pemerintahan SBY menganggap Keppres Nomor 12/2014 sudah cukup untuk Tionghoa, ketimbang membentuk Pengadilan HAM. Keppres itu hanya menggaruk permukaan "Masalah Cina" saja. Selain miskin sosialisasi dan hanya mengatur institusi pemerintah, konsistensi dan efektivitasnya masih tanda tanya. Keppres ini salah kaprah dan relatif diabaikan publik. Bandingkan dengan pembentukan Pengadilan HAM yang bisa memberikan keadilan bagi korban Mei 1998 (baik Tionghoa maupun bukan), dan menjamin teror negara serupa tak kan terulang.

Kubu Prabowo menggadang Ahok sebagai bukti kalau Prabowo tidak "anti-Cina". Tapi ada anggapan kalau itu hanya simbolis, karena mangkirnya Prabowo dari panggilan Komnas HAM pada 2006 jelas tidak membantu proses penyelesaian hukum. Terlebih, manifesto Gerindra justru menolak Pengadilan HAM.

Kubu Jokowi juga terciprat isu Mei 1998 ini dengan sosok Wiranto. Memang Prabowo sebagai capres mendapat sorotan, tapi ini juga catatan penting buat kubu Jokowi. Siapa pun yang menang, tuntutan keadilan akan terus dikumandangkan. Entah itu isu pengadilan HAM atau lainnya, pengarus-utamaan partisipasi politik Tionghoa diuji dalam Pilpres 2014, karena kampanye hitam bernuansa rasis dan intimidatif ala Orba begitu gencar. Tapi tidak ada alasan bagi masyarakat Tionghoa untuk bersembunyi di bawah ketiak ketakutan, karena 2014 bukan 1998.

Telah muncul generasi baru Tionghoa yang tak lagi kikuk bersuara. Eksistensi trauma Mei 1998 diimbangi gerakan melawan lupa yang melibas pagar etnisitas. Paling tidak, mereka sudah lebih sadar akan keterkaitan alamiah kasus diskriminasi Tionghoa dengan manajemen pluralisme Indonesia.

Kedua kubu capres merangkul politisi Tionghoa dengan beragam karakter dan gaya. Jika tidak bisa sigap mengikuti arah arus utama dan peka terhadap situasi akar rumput, partisipasi itu bukan hanya ibarat masturbasi politik yang menjustifikasi stereotip Tionghoa, tapi juga akan menyiram bensin di atas bara politik identitas.

Terlebih mengingat mencuatnya Tiongkok sebagai adidaya baru masih diwarnai perdebatan apa Tiongkok adalah ancaman atau mitra sejati. Jangan lupa, sepanjang sejarah, suka atau tidak, dinamika Tionghoa tidak pernah dilepaskan dari dinamika Tiongkok. Maka dari itu, ini imbauan untuk semua pihak-Tionghoa atau bukan-hati-hati menggadang suara Tionghoa. *

Berita terkait

Survei Capres Muhaimin Iskandar Rendah, PKB: Masih Ada Peluang

27 Desember 2021

Survei Capres Muhaimin Iskandar Rendah, PKB: Masih Ada Peluang

Dalam survei tersebut Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar hanya dipilih 0,1 persen responden.

Baca Selengkapnya

DPR Dorong KPU dan Bawaslu Antisipasi Potensi Masalah Pemilu 2024

22 Desember 2021

DPR Dorong KPU dan Bawaslu Antisipasi Potensi Masalah Pemilu 2024

Komisi II DPR meminta KPU dan Bawaslu Provinsi Jawa Barat mengantisipasi kesulitan pemilih menggunakan hak pilih, lantaran diprediksi akan banyak surat suara.

Baca Selengkapnya

Setya Novanto: Golkar Siap Menangkan Jokowi di Pilpres 2019  

27 Maret 2017

Setya Novanto: Golkar Siap Menangkan Jokowi di Pilpres 2019  

Setya Novanto mengungkap hitung-hitungan apabila Jokowi kembali berhadapan dengan Prabowo dalam pilpres 2019.

Baca Selengkapnya

Gagal Pilkada DKI, AHY Punya Modal Besar Ikut Pilpres 2019

22 Maret 2017

Gagal Pilkada DKI, AHY Punya Modal Besar Ikut Pilpres 2019

Qodari mengatakan masyarakat cukup mengenal figur Agus Yudhoyono atau AHY ini

Baca Selengkapnya

Tiap Parpol Bisa Ajukan Calon Presiden, Jokowi: Masih Proses

16 Januari 2017

Tiap Parpol Bisa Ajukan Calon Presiden, Jokowi: Masih Proses

RUU Permilu Diperkirakan selesai sekitar bulan empat ke depan.

Baca Selengkapnya

Sindrom I Want SBY Back, Sinyal Ani Yudhoyono Maju Capres?

10 September 2015

Sindrom I Want SBY Back, Sinyal Ani Yudhoyono Maju Capres?

Ada spekulasi bahwa Demokrat memunculkan sindrom I Want SBY Back untuk mempersiapkan Ani Yudhoyono.

Baca Selengkapnya

Jokowi Tak Butuh, Relawan Bakal Membubarkan Diri

28 Oktober 2014

Jokowi Tak Butuh, Relawan Bakal Membubarkan Diri

Sampai saat ini mereka masih menunggu kepastian dari Jokowi.

Baca Selengkapnya

Jokowi Dilantik, Relawan Jokowi-JK Berevolusi

13 Oktober 2014

Jokowi Dilantik, Relawan Jokowi-JK Berevolusi

Relawan Jokowi-JK turut mengontrol realisasi program pemerintah di pedesaan.

Baca Selengkapnya

Fahri: Koalisi Pro-Prabowo Tidak Berencana Pilpres MPR  

9 Oktober 2014

Fahri: Koalisi Pro-Prabowo Tidak Berencana Pilpres MPR  

"Enggak ada agenda itu. Makanya, tidak perlu ditanyakan,"
kata


Fahri Hamzah soal agenda mengubah pemilihan presiden dari



langsung menjadi lewat MPR.

Baca Selengkapnya

Giman Membawa Ratusan Pesan untuk Jokowi

30 September 2014

Giman Membawa Ratusan Pesan untuk Jokowi

Dalam perjalanannya, pria yang kesehariannya berjualan kue putu keliling itu membawa buku catatan yang berisi ratusan pesan ditulis tangan.

Baca Selengkapnya