Janda

Penulis

Jumat, 27 Juni 2014 01:27 WIB

Purnawan Andra,
Penulis

Beberapa waktu lalu, Komunitas Janda Indonesia (Kojaindo) mendeklarasikan dukungan untuk calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla di Bandung (4 Juni 2014). Harapannya, jika terpilih, keduanya dapat lebih memperhatikan dan memperjuangkan kaum perempuan, terutama para janda yang berjuang sendiri tanpa ada dukungan suami. Komunitas ini juga bermaksud menghilangkan konotasi janda yang selama ini dinilai negatif (Liputan6.com).

Menarik mencermati penyebutan janda dalam niatan ini dalam hajatan politik bangsa nanti. Apakah kumpulan janda tersebut akan menjadi suatu kekuatan politik yang menambah suara bagi kubu calonnya?

Penyebutan janda menjadi wacana yang mengusik perhatian. Janda adalah status perempuan yang sudah tidak bersuami, entah karena perceraian atau kematian suami. Status ini kerap menciptakan persepsi dan tendensi tertentu dalam konstruksi sosial masyarakat. Muncul pelbagai idiom lanjutan yang mengandung bermacam maksud definitif terkait dengan status janda, seperti janda kembang, janda muda, atau randa kempling.

Bandung Mawardi (2009) mensinyalir selama ini sebutan janda "difasilitasi" di acara-acara gosip. Acara infotainmen menjadi rumus mujarab untuk menciptakan isu mengenai para artis yang menjanda, akan menjadi janda ataupun tidak lagi menjanda. Perceraian para artis menjadi isu penting, dan para pelakunya dikenai sebutan janda dalam berbagai nada persepsi: ada yang sumbang, simpati, sedih, atau menghujat. Publik terlibat secara emosional terhadap para artis yang menjanda. Infotainmen juga menampilkan efek janda bagi para artis. Ada yang tampak lega dan memancarkan spirit untuk menata hidup tanpa suami. Ada yang tampak memelas dengan konstruksi diri sebagai korban atau pihak terkalahkan. Media mengolah wacana janda menjadi lakon menggemaskan dan mengenaskan. Pengarahan pada tendensi-tendensi tertentu menjadi permainan otoritas untuk membuat publik mendukung. Wacana tentang janda di(re)produksi dalam sistem pemaknaan kontemporer.

Sejak awal, identitas perempuan memang selalu terbelah. Rohima (2010) menjelaskan bahwa lingkungan telah memilihkan nama untuk perempuan. Ketika pulang ke rumah, perempuan telah menjadi ibunya si A, B, C, sampai Z anak-anaknya. Di lingkungan terdekat rumahnya pun, perempuan akan lebih dikenal sebagai bu Nama Suaminya, bukan bu Namanya Sendiri. Perempuan tidak ikut menamai diri sendiri di dalam pertumbuhan dan perkembangan kehidupannya, serta tidak menamai dunia di sekitarnya.

Perempuan harus menegosiasikan kuasa masyarakat yang didasarkan pada agama, pasar, dan politik. Perempuan di Indonesia ditarik dalam dua arah: di satu sisi mereka ditarik pada peranan yang diterapkan kepada mereka oleh lingkungan sosial, keluarga, biologi (peran yang digariskan sebagai ibu dan istri), dan seksualitasnya (kekuatan mereka untuk menggoda laki-laki), termasuk peranan perempuan sebagai pelestari tradisi, moralitas, dan identitas nasional. Di sisi lain, mereka ditarik meneruskan kehidupan kreatif pribadinya (Lindsay, 2009: 15).

Wacana mengenai perempuan (apalagi janda) direproduksi dalam pelbagai konteks, tanpa batas. Masyarakat perlu memaknai ulang wacana janda secara lebih proporsional, kontekstual, dan tidak reaksioner. Peranan perempuan perlu direpresentasikan sebagai ruang pembacaan yang lebih kritis tentang dinamika sosial, modernitas, dan identitas Indonesia itu sendiri. *

Berita terkait

Survei Capres Muhaimin Iskandar Rendah, PKB: Masih Ada Peluang

27 Desember 2021

Survei Capres Muhaimin Iskandar Rendah, PKB: Masih Ada Peluang

Dalam survei tersebut Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar hanya dipilih 0,1 persen responden.

Baca Selengkapnya

DPR Dorong KPU dan Bawaslu Antisipasi Potensi Masalah Pemilu 2024

22 Desember 2021

DPR Dorong KPU dan Bawaslu Antisipasi Potensi Masalah Pemilu 2024

Komisi II DPR meminta KPU dan Bawaslu Provinsi Jawa Barat mengantisipasi kesulitan pemilih menggunakan hak pilih, lantaran diprediksi akan banyak surat suara.

Baca Selengkapnya

Setya Novanto: Golkar Siap Menangkan Jokowi di Pilpres 2019  

27 Maret 2017

Setya Novanto: Golkar Siap Menangkan Jokowi di Pilpres 2019  

Setya Novanto mengungkap hitung-hitungan apabila Jokowi kembali berhadapan dengan Prabowo dalam pilpres 2019.

Baca Selengkapnya

Gagal Pilkada DKI, AHY Punya Modal Besar Ikut Pilpres 2019

22 Maret 2017

Gagal Pilkada DKI, AHY Punya Modal Besar Ikut Pilpres 2019

Qodari mengatakan masyarakat cukup mengenal figur Agus Yudhoyono atau AHY ini

Baca Selengkapnya

Tiap Parpol Bisa Ajukan Calon Presiden, Jokowi: Masih Proses

16 Januari 2017

Tiap Parpol Bisa Ajukan Calon Presiden, Jokowi: Masih Proses

RUU Permilu Diperkirakan selesai sekitar bulan empat ke depan.

Baca Selengkapnya

Sindrom I Want SBY Back, Sinyal Ani Yudhoyono Maju Capres?

10 September 2015

Sindrom I Want SBY Back, Sinyal Ani Yudhoyono Maju Capres?

Ada spekulasi bahwa Demokrat memunculkan sindrom I Want SBY Back untuk mempersiapkan Ani Yudhoyono.

Baca Selengkapnya

Jokowi Tak Butuh, Relawan Bakal Membubarkan Diri

28 Oktober 2014

Jokowi Tak Butuh, Relawan Bakal Membubarkan Diri

Sampai saat ini mereka masih menunggu kepastian dari Jokowi.

Baca Selengkapnya

Jokowi Dilantik, Relawan Jokowi-JK Berevolusi

13 Oktober 2014

Jokowi Dilantik, Relawan Jokowi-JK Berevolusi

Relawan Jokowi-JK turut mengontrol realisasi program pemerintah di pedesaan.

Baca Selengkapnya

Fahri: Koalisi Pro-Prabowo Tidak Berencana Pilpres MPR  

9 Oktober 2014

Fahri: Koalisi Pro-Prabowo Tidak Berencana Pilpres MPR  

"Enggak ada agenda itu. Makanya, tidak perlu ditanyakan,"
kata


Fahri Hamzah soal agenda mengubah pemilihan presiden dari



langsung menjadi lewat MPR.

Baca Selengkapnya

Giman Membawa Ratusan Pesan untuk Jokowi

30 September 2014

Giman Membawa Ratusan Pesan untuk Jokowi

Dalam perjalanannya, pria yang kesehariannya berjualan kue putu keliling itu membawa buku catatan yang berisi ratusan pesan ditulis tangan.

Baca Selengkapnya