Ahmad Taufik,
Dosen Etika dan Hukum Jurnalistik di STIKOM Bandung
Namanya saja "Obor Rakyat", bisa digunakan untuk tujuan positif atau negatif. Nah, tabloid Obor Rakyat bisa menjadi alat bukti polisi untuk menyeret seseorang ke proses pidana, jika ia digunakan untuk tujuan negatif. Sekarang, dari sudut mana kita melihat tabloid Obor Rakyat itu? Menjadi penerang sas-sus yang belum jelas atau membakar (baca memprovokasi) orang yang membacanya.
Senin pekan lalu, tim hukum Joko Widodo dan Jusuf Kalla melaporkan pengelola Obor Rakyat ke polisi. Biasanya, aturan yang dikenakan dalam kasus seperti ini adalah penghinaan dan atau pencemaran nama baik, yang terdapat dalam Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Laporan itu bertambah kuat setelah Dewan Pers memberi sinyal Obor Rakyat bukan produk jurnalistik dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) juga lepas tangan sebagai bukan pelanggaran pemilu.
Berkaitan dengan pelanggaran pidana penghinaan dan atau pencemaran nama baik, saya teringat makalah Nono Anwar Makarim, saat menjadi saksi dalam uji materi Pasal 310 dan 311 KUHP di Mahkamah Agung pada 24 Mei 2008. Menurut Nono, kriminalisasi penghinaan/pencemaran nama mulanya dimaksudkan guna menjaga ketertiban umum.
Pada abad ke-13, orang yang merasa dihina menganggap dirinya wajib menantang si penghina untuk berduel. Di Inggris, pada 1275, jumlah korban dan kegaduhan yang ditimbulkan oleh penghinaan sedemikian rupa meningkat, sehingga dibuat ketentuan tentang itu yang disebut Scandalum Magnatum dalam Statute of Westminster.
Scandalum, sebut saja begitu, berisi antara lain: "…sejak sekarang tidak boleh lagi orang secara lancang mengutarakan atau menerbitkan berita dan cerita bohong yang dapat menimbulkan konflik atau kemungkinan konflik atau fitnah antara raja dan rakyatnya atau orang-orang besar di dalam negeri ini." Aturan itu bertujuan untuk menciptakan proses pemulihan nama baik secara damai. Terlalu banyak kegaduhan bersenjata dan korban jiwa (saat itu) yang timbul akibat rasa tersinggung seorang oleh apa yang dianggapnya penghinaan oleh orang lain. Desas-desus pada masa itu gampang sekali mengakibatkan adu anggar dan pistol di depan umum.
Saya sepakat dengan Budiarto Shambazy dalam dialog di Metro TV, agar persoalan ini diselesaikan segera. Para pihak duduk bersama, tak perlu mengajak polisi masuk dalam persoalan seperti ini. Cuma ada yang saya tak bisa terima, ketika pengelola Obor Rakyat itu menyebut terbitannya sama dengan tabloid Suara Independen di zaman Orde Baru saat Soeharto berkuasa. Saya melihat ada kekeliruan pikiran pengelola Obor Rakyat. Terutama dalam konteks zaman terbitnya.
Penerbitan alternatif muncul biasanya terjadi pada zaman rezim yang menindas (otoriter), saat suara-suara kritis dibungkam penguasa, dipenjara, "dihilangkan", bahkan dibunuh. Media massa disensor, dibreidel, dan dimatikan. Lalu kebebasan berekspresi dikekang. Di berbagai belahan bumi, di mana negaranya dipimpin pemerintahan yang otoriter dan militeristik, terbit media "bawah tanah". Menyamakan Independen dengan Obor Rakyat adalah kekeliruan besar. Karena zaman seperti yang disebut di atas tidak ada lagi. Media massa kini tak perlu lagi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) seperti pada saat Harmoko memimpin Kementerian Penerangan atau Surat Izin Terbit (SIT) saat militer berkuasa. *
Berita terkait
Angka Keramat Nawacita
28 April 2015
Pemilihan Presiden Juli 2014 lalu menjadi etos baru bagi rakyat untuk menentukan calon pemimpinnya. Bagi saya dan sebagian pemilih Jokowi, yang untuk pertama kalinya memilih dalam pemilihan, karena sebelumnya golongan putih, ada motif yang menggerakkan kami. Salah satu motif itu adalah janji kampanye Jokowi yang bertitel Nawacita.
Baca SelengkapnyaPemilu 2014 Berlalu, Ini Daftar Pelanggarannya
17 Desember 2014
Kemitraan menemukan suap dalam pemungutan suara.
Baca SelengkapnyaObor Rakyat, Polisi Tunggu Keterangan Jokowi
5 Agustus 2014
Keterangan Jokowi diperlukan agar kasus pengaduan tabloid Obor Rakyat dapat diproses lebih lanjut
Baca SelengkapnyaAhok Soal Pilpres: Jangan Golput, Nanti Menyesal
9 Juli 2014
Dengan memilih, Ahok berujar, kemungkinan warga merasakan penyesalan jauh lebih kecil ketimbang mengabaikan haknya.
Baca SelengkapnyaRibuan DPT Ganda Dicoret di Kota Bekasi
8 Juli 2014
Setiap kelurahan terdapat sekitar 100 DPT ganda.
Netizen Dukung Jokowi-Kalla di Semua Segmen Debat
6 Juli 2014
Secara keseluruhan, Jokowi-Kalla dipercakapkan hingga 64.297 kali, jauh mengungguli Prabowo-Hatta.
Baca SelengkapnyaHatta Tanya Kalpataru, JK: Keliru, Itu Adipura
5 Juli 2014
Hatta hanya tersenyum pahit dan enggan melanjutkan pertanyaan.
Baca SelengkapnyaPendukung Jokowi Bagikan Obor Rahmatan Lil Alamin
5 Juli 2014
Selain tabloid, mereka juga membagikan jadwal puasa Ramadan dan pin bergambar Jokowi-JK.
Baca SelengkapnyaTabloid Sapujagat Serang Jokowi Lewat Isu Komunis
5 Juli 2014
Sapujagat sebenarnya bukan media baru. Tabloid 16 halaman yang berkantor di Jalan Makam Peneleh Nomor 39, Surabaya, itu sudah muncul sejak awal 2000.
Baca SelengkapnyaKampanye Hitam Juga Serang Kampung Deret
5 Juli 2014
Dukungan warga terbelah diantara dua calon presiden di sejumlah sudut Jakarta.
Baca Selengkapnya