Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya tidak memaksakan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sejumlah pasal dalam rancangan ini bak ranjau bagi kebebasan berpendapat dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Rancangan itu juga terkesan hanya menampung aturan yang telah dimuat dalam undang-undang lain.
Lihat saja aturan yang menyangkut delik pencemaran nama baik dan penghinaan terhadap pejabat negara. Pasal penghinaan terhadap presiden, misalnya, masih ada dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Hal ini amat mengherankan karena Mahkamah Konstitusi telah membatalkan aturan yang ketinggalan zaman itu.
Rancangan KUHP juga memuat larangan penyebarluasan paham komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Ancaman hukumannya 7 tahun penjara. Munculnya pasal seperti ini hanya menegaskan bahwa perancang undang-undang itu tak memberi ruang bagi perbedaan paham dan keyakinan.
DPR semestinya membahasnya secara serius dengan melibatkan masyarakat luas karena rancangan KUHP itu jelas mengungkung kebebasan penduduk, termasuk kebebasan pers. Dalam KUHP warisan Belanda, hanya ada 36 pasal yang bisa menyeret wartawan ke penjara. Kini, dalam rancangan kitab pidana yang baru itu, terdapat 49 pasal yang bisa menggiring jurnalis ke bui.
Rancangan KUHP itu memang gendut lantaran memuat 766 pasal. Bandingkan dengan kitab lama yang hanya berisi 569 pasal. Hanya, banyak pasal baru yang sebetulnya dicomot begitu saja dari undang-undang lain. Tanpa dimasukkan ke kitab hukum pidana sekalipun, pasal-pasal itu sudah berlaku.
Dengan sisa masa kerja yang terbatas, karena tahun depan sudah pemilihan umum lagi, sulit membayangkan DPR periode ini bisa menghasilkan KUHP yang ideal. Jika dipaksakan, pasal-pasal aneh dan kontroversial itu dikhawatirkan justru akan lolos. Hal ini hanya memberi pekerjaan baru bagi Mahkamah Konstitusi. Kelak, publik yang dirugikan tentu akan menggugat KUHP baru karena tak sesuai dengan semangat konstitusi.
Lebih baik DPR memprioritaskan pembahasan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dari sisi substansi, rancangan hukum acara ini tidak banyak masalah. Rancangan itu cukup memberi perlindungan bagi tersangka dan terdakwa, serta membatasi kesewenang-wenangan aparat. Kemajuan yang lain, adanya hakim pemeriksa pendahuluan. Hakim khusus ini bisa mengawasi aparat dalam menangkap, menahan, dan menuntut orang. Bila terjadi salah tangkap, hakim pemeriksa pun berwenang menetapkan ganti rugi bagi korban.
Rancangan KUHAP juga memperkenalkan penyelesaian perkara di luar pengadilan. Dalam kasus pidana ringan, jaksa bisa menghentikan penuntutan bila tersangka membayar kerugian korban. Hal ini sejalan dengan semangat restorative justice, yang mengutamakan pemulihan hak korban ketimbang menghukum pelaku.
Semestinya rancangan KUHP juga seprogresif KUHAP tersebut. Aneh bila rancangan sebuah kitab hukum pidana yang penting dan telah disiapkan bertahun-tahun itu justru kurang bermutu.