Pergantian direksi bukanlah jaminan proyek mass rapid transit (MRT) Jakarta bisa langsung menggelinding. Banyak kendala yang menghadang proyek bernilai Rp 15 triliun untuk koridor Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia itu. Pemerintah DKI Jakarta sendiri ternyata belum siap. Ibarat bermain bola, Jakarta semestinya menjalankan strategi total football agar megaproyek ini terwujud.
Sudah 28 tahun gagasan pembangunan MRT digulirkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Tahap pertama jalur proyek bernilai Rp 15 triliun itu akan membentang dari Lebak Bulus ke Bundaran Hotel Indonesia. Nantinya, jalur MRT akan disambung lagi hingga ke Kampung Bandan, Jakarta Utara. Jalur tambahan ini akan menelan biaya Rp 39 triliun. Namun, jangankan jalur tambahan, tanda-tanda pembangunan konstruksi fisik jalur awal MRT pun sampai sekarang belum terlihat.
Jakarta sudah terlalu lama menderita akibat kemacetan yang parah. Beban Ibu Kota sudah kelewat berat. Saban hari kerja, ada 40 juta pergerakan manusia yang harus dilayani. Dari jumlah itu, baru 56 persen yang menggunakan angkutan massal. Sisanya menggunakan kendaraan pribadi. Akibatnya, terjadi ledakan jumlah kendaraan bermotor. Setiap tahun jumlah kendaraan bermotor bertambah 11,26 persen, padahal pertambahan luas jalan di Jakarta setahun hanya 0,01 persen. Menunda pembangunan MRT bisa membuat kemacetan semakin menggila.
Lagi pula, penundaan pembangunan ini juga berbuntut denda besar. Karena dana MRT berasal dari pinjaman Jepang, penundaan akan membuat pemerintah Jakarta terkena penalti Rp 800 juta sehari. Jika pembangunannya mundur setahun saja dari jadwal, denda itu mencapai Rp 292 miliar.
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bertindak tepat dengan mengganti direksi PT MRT Jakarta, pekan lalu. Prestasi direksi lama tidaklah mengkilap. Mereka cenderung lamban. Terlunta-luntanya proyek yang sudah digagas sejak 2004 itu adalah buktinya. Proyek ini baru sebatas rencana di atas kertas. Padahal sejumlah urusan prinsip, seperti pembagian beban biaya antara pemerintah pusat dan DKI Jakarta, sudah mencapai titik temu.
Tapi persoalan MRT tidak hanya pada direksi. Bahkan merombak total direksi PT MRT juga bukan jaminan proyek ini akan berlangsung mulus. Masalahnya, ada banyak pekerjaan yang juga bergantung pada keputusan Gubernur. Misalnya, kepastian apakah jalur MRT akan menggunakan jalan layang atau seluruhnya di bawah tanah sampai sekarang belum diputuskan. Gubernur Joko Widodo harus segera membuat keputusan soal ini. Warga Fatmawati, Jakarta Selatan, yang rumahnya terkena proyek itu sudah tak sabar menunggu kepastian dari pemerintah.
Soal lain yang juga butuh keputusan segera adalah rencana pembongkaran terminal dan stadion Lebak Bulus serta lokasi pembuatan lubang ventilasi untuk jalur bawah tanah. Bahkan peraturan daerah untuk angkutan massal ini juga belum dirancang. Keterlambatan seperti inilah yang harus segera diselesaikan.
Gubernur Jokowi selayaknya segera melakukan gebrakan untuk memuluskan proyek MRT. Dia harus menggerakkan seluruh jajarannya. Memberikan target kepada direksi PT MRT agar bergerak cepat memang penting. Tapi menyiapkan sarana pendukung agar proyek ini segera berjalan juga tak kalah penting. Banyak keputusan yang harus dibuat Gubernur agar proyek ini berjalan lancar.