HARI terakhir Muktamar "Nahadatoel Oelama' Surabaya, 13 Oktober 1927 KURANG lebih 200 orang hadir. Semuanya ulama. Ketuanya adalah Kiai Hasyim Asy'ari dari Tebu Ireng, Jombang. Perdebatan sengit sering terjadi dalam muktamar ini, tapi dalam hal-hal pokok keagamaan para peserta bersatu. Juga nampaknya dalam satu hal lain. Menurut laporan yang diterima pemerintah kolonial Belanda waktu itu, sebagaimana tersimpan dalam Koloniaal Archief di Den Haag, para peserta muktamar memuji-muji politik penguasa. Pemerintah Hindia-Belanda, begitulah kata mereka, menjamin kemerdekaan Islam yang benar tanpa mencampuri segi-segi keagamaan. Di rapat umum malam hari di masjid Ampel, yang dihadiri sekitar 15.000 orang, beleid gubernemen juga dapat keplok -- sementara orang-orang yang "menyampuradukkan agama dengan politik" dapat kecaman. Hari peringatan 15 tahun "Partij Sarikat Islam", Yogyakarta, 26 Januari 1928 Hanya sekitar 100 orang hadir. Antara lain para wakil yang datang dari 18 cabang P.S.I di Jawa. Ini berarti kurang dari separuh jumlah 40 cabang yang ada. Wakil Muhammadiyah tak nampak, tapi anggota pengurus Boedi Oetomo dan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dari Bandung ikut duduk sebagai tamu. Yang membuka rapat Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pembicara berikutnya Haji Agus Salim. Ia tak cuma berbicara tentang sejarah Sarikat Islam. Sebelum Sarikat Islam didirikan di tahun 1912, katanya, orang Jawa disebut sebagai "bangsa yang paling jinak di dunia". Sarikat Islam membuktikan bahwa panggilan semacam itu sudah tak berlaku lagi. Bangsa bumiputra telah bangkit. Dan Haji Agus Salim pun dapat tepuk tangan riuh ketika ia menegaskan lagi semboyan Sarikat Islam: "Kerso, kuwoso, mardiko" -- tekad, kekuasaan, kemerdekaan. Mustahil bagi suatu pergerakan rakyat untuk tidak berpolitik. Meskipun Sarikat Islam pada mulanya bukanlah suatu usaha politis, tapi "di mana-mana di negeri ini orang terbentur pada satu hal yang sama, yakni politik kolonial." "Sejarah mengajarkan bahwa tak ada pemerintah yang pernah memberi hak-hak baru kepada rakyatnya secara sukarela," kata Haji Agus Salim. "Rakyat harus memperlihatkan jelas-jelas bahwa mereka dengan tegas menuntut hak-hak itu. *** DUA pandangan yang berbeda. Mereka lahir dari orang-orang yang berbeda, tapi juga mungkin karena masa dan tempat mereka berlainan. Di tahun 1916, misalnya Tjokroaminoto sendiri tidak akan menyetujui pernyataan Agus Salim di tahun 1928 seperti di atas. Dalam kongres di Bandung di bulan Juni tahun itu, misalnya, ia menyatakan tak akan menyeru: "Hancurkanlah pemerintah!" Seruannya adalah "Bersama pemerintah dan mendukung pemerintah menuju ke arah yang benar." Dan ia mengecam mereka yang tergila-gila pada "aksi politik" . . Barangkali karena makin lama cita-cita terjepit, makin keras daya desaknya Ataukah sebaliknya makin lunak yang berkuasa menghadapi tuntutan, makin deras pula tuntutan itu -- hingga tak bisa ditampung lagi kecuali dengan menenggelamkan diri? Dewasa ini pertanyaan semacam itu pasti menarik untuk ditelaah kembali, untuk dijawab. Namun masa lalu hanyalah satu contoh. Mungkin sejarah tak pernah berulang. Mungkin kita adalah bagian dari cerita yang harus diciptakan baru selalu.