Pemerintah mesti segera membuat sebuah mekanisme pencegahan korupsi pegawai pajak yang komprehensif. Sejumlah operasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terbukti tak mampu membuat karyawan lembaga pemungut pajak itu kapok mengentit uang negara. Pekan ini, Pargono Riyadi, pegawai di Kantor Pajak Jakarta Pusat, tertangkap tangan setelah menerima suap dari wajib pajak. Ia disuap atas jasanya mengempiskan tagihan pajak sang pengusaha.
Pargono menambah panjang deretan pegawai pajak yang ditangkap KPK. Yang paling fenomenal tentu saja Gayus Tambunan. Gayus pernah menyebutkan enam modus kejahatan pajak yang merugikan negara triliunan rupiah setiap tahun. Ada pengaturan untuk menurunkan besaran pajak, penipuan melalui aturan bebas fiskal, penerbitan faktur fiktif, penghilangan berkas keberatan pajak, penggunaan perusahaan di luar negeri, dan penggelapan pajak lewat transaksi saham.
Banyaknya lubang (loopholes) di lembaga pemerintah itu jelas sangat memprihatinkan. Terbukti, tindakan kuratif saja untuk menyurutkan kejahatan ternyata tak cukup. Yang tak kalah penting adalah upaya preventif. Maka, sangat tepat karena Direktorat Jenderal Pajak telah memiliki whistle-blowing system. Penangkapan Pargono merupakan salah satu hasil sistem "peniup peluit" itu. Komisi antikorupsi menangkap Pargono setelah mendapat informasi dari Pajak.
Sistem "peniup peluit" cukup membantu pemberantasan korupsi di lembaga itu, yang tahun ini harus menyetorkan Rp 1,18 triliun ke kas negara. Namun sistem ini lebih mengandalkan "kesediaan" para whistle blower melaporkan kejanggalan di lingkungannya. Repotnya, bukan tidak mungkin terjadi komplikasi akibat persaingan tidak sehat di lingkup internal lembaga yang menerapkan sistem ini. Proses verifikasinya pun biasanya berlangsung lama karena melibatkan banyak pihak.
Sistem "peniup peluit" juga tidak efektif jika kejahatan melibatkan komplotan, baik internal maupun eksternal. Pada kenyataannya, hampir semua kejahatan pajak melibatkan komplotan: aparat pajak dari berbagai level dan bagian, wajib pajak, dan konsultan pajak. Mereka bisa menerobos sistem yang seharusnya imun dari keterlibatan petugas pajak. Misalnya, dalam pelaporan yang menganut prinsip self-assessment. Sistem ini bisa diakali saat uji petik atau dalam sidang banding dengan melibatkan konsultan pajak gelap yang tak lain adalah pegawai pajak sendiri.
Untuk menutupi kelemahan itu, Kementerian Keuangan mesti merancang sistem deteksi dini jika terjadi kecurangan atau kejahatan pajak. Salah satu yang sudah dilakukan adalah pembuatan benchmarking industri untuk melihat kewajaran nilai pajak sebuah perusahaan pada industri sejenis. Pembuatan patokan ini seharusnya diperluas ke seluruh industri, sehingga bisa meminimalkan kongkalikong petugas dengan wajib pajak. Mempercepat rotasi juga perlu demi mencegah petugas pajak menjalin hubungan gelap dengan wajib pajak.
Pendek kata, semakin kecil kemungkinan terjadinya relasi wajib pajak dengan petugas pajak, peluang kongkalikong juga mengecil. Profesi konsultan pajak juga harus dibatasi karena kejahatan pajak sering kali melibatkan mereka. Selain memuluskan terjadinya kejahatan pajak, mereka acap menjadi bumper bagi pengusaha. Sistem pengawasan internal berjenjang akan melengkapi berbagai sistem dalam Direktorat Jenderal Pajak, sehingga bisa meminimalkan kejahatan pajak. Tanpa ada sistem yang bisa memaksa kepatuhan aparat pajak, sulit memberantas kejahatan di sektor ini.