NASIONALISME adalah sebuah ikhtiar yang tak mudah selesai. Pada suatu hari, pekan lalu, seorang anak di Lampung bertanya kepada ibunya: "Ibu, apakah saya bukan seorang Indonesia?". Ibunya kaget. Ada sesuatu yang menusuk hatinya dan ia seperti sudah mafhum itu apa. Anak itu adalah anaknya, ia seorang keturunan asing, begitu pula suaminya. Tapi tak terfikir olehnya pertanyaan demikian akan sampai terlontar dari mulut si Yom yang baru 9 tahun. Adakah anak itu tak diterima oleh kawannya? Kebangsaan adalah sesuatu hal yang abstrak bagi anak-anak. Tapi terasing dari pergaulan adalah pengalaman yang kongkrit. Ibu itu sebentar teringat akan masa kecilnya (ia lahir di sebuah kota di Jawa Barat) dan akan kawan-kawannya sendiri. Dulu yang seperti pertanyaan si Yom tak pernah muncul dari, atau ke dalam kepalanya. Seandainya pun muncul ia mungkin tak akan merasa apa-apa. Namun kini, aneh, ada sesuatu yang mirip dengan rasa kehilangan. . . Orang, apalagi anak-anak, membutuhkan rasa diterima. "Kenapa kau bertanya begitu?" "Pak Rustam di sebelah berkata bahwa papi dan mami dan saya masih perlu membuktikan diri jadi bangsa Indonesia. " Ibu itu diam. Tapi barangkali Pak Rustam tidak salah sama sekali, dan tidak bermaksud menyakitkan hati. Setiap warganegara pada hakikatnya selalu perlu memproses diri jadi seorang Indonesia. Nasionalisme adalah sebuah ikhtiar yang tak mudah selesai. +++ NASIONALISME adalah suatu ikhtiar yang tak mudah selesai, karena ia bukanlah cuma sikap melawan penjajahan asing. Ia adalah juga kehendak menciptakan sesuatu yang baru: suatu ikatan yang dulu belum ada. Dan itu misalnya terjadi ketika tanggal 28 Oktober 1928. Yang bergerak waktu itu adalah suatu proses pengindonesiaan. Proses itu mengenai siapa saja. Dan kapan saja. Sebab "orang Indonesia" pada dasarnya adalah sebuah idea, bukan sebuah sosok tubuh. Sementara itu masing-masing kita adalah sebuah sosok tubuh kongkrit -- berpijak pada sebuah tempat dan terkait akan di sebuah lingkungan. Masing-masing kita karena itu tak bisa sepenuhnya merupakan pengejawantahan konsep "Indonesia". Masing-masing kita hanya berusaha mengindonesia. Tiap kali. Kadang bahkan dengan langkah nyaris surut. Kadang memang menyedihkan. Sejarah Indonesia apa boleh buat tidak merupakan meja putih, di atas mana bisa diteriakkan sim-salabim lalu perkara kebangsaan kita beres. Banyak hal tidak enak karena itu terjadi, terutama dalam hubungan keindonesiaan dengan mereka yang "keturunan asing". Buku seperti The Policy and Administration of the Dutch in Java dari Clive Day, yang terbit 1904, mengutip dengan pedas keluhan penduduk pribumi terhadap "orang Cina" dan "Indo-Arab". Dan ternyata kita tak mudah memungkiri itu, sampai sekarang. Kita tak bisa meremehkannya. Di situ nasionalisme menjadi suatu ikhtiar yang lebih sulit. Tapi bangsa Indonesia barang kali ditakdirkan lain dari bangsa Jepang atau Yahudi yang homogen. Kita mungkin lebih dekat dengan keaneka-warnaan, yang terbayang jika kita bicara tentang bangsa Amerika. Keaneka-warnaan itu bukanlah sekedar keaneka-warnaan rumah adat dan pakaian daerah. Keaneka-warnaan itu kini minta ditafsirkan sebagai harkat orang per orang. Sayang, bahwa kita nampaknya belum terbiasa dengan ini. Kita masih cenderung melihat "bangsa" sebagai sebuah abstraksi moral, kesatuan mulia, dan karena itu bersedia menerima perbedaan pada bagian-bagiannya. Tak mengherankan, bila seringkali jarak ke arah totalitarianisme sering dekat. Sebab pada saat rakat atau bangsa tidak kita lihat sebagai sesuatu yang pada akhirnya terdiri atas individu-individu, dengan takdir masing-masing, pada saat itu seorang Yom atau seorang yang lain praktis tak ada lagi: Ia tak punya senyum atau kesedihan. Ia cuma eksemplar dari sebuah kaum yang seragam-seperti petani tertindas di Kamboja