Tak ada larangan bagi pengusaha masuk parlemen. Menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat merupakan hak setiap orang, sepanjang ia mampu dan terpilih. Bahkan langkah itu mulia jika bertujuan ikut mengawal legislasi dan bujet negara. Tapi realitas menunjukkan bahwa pengusaha yang menjadi legislator lebih banyak didorong oleh kepentingan bisnis.
Publik mesti mewaspadainya karena akan semakin banyak pengusaha yang masuk DPR. Ini terlihat dari daftar calon legislator untuk Pemilihan Umum 2014. Mereka juga sulit diharapkan untuk memperbaiki citra DPR yang kini terpuruk. Data Indonesia Corruption Watch justru menunjukkan, cukup banyak politikus sekaligus pebisnis yang terjerat kasus korupsi. Mereka antara lain Muhammad Nazaruddin, Emir Moeis, dan Wa Ode Nurhayati. Belakangan pengusaha Setya Novanto dari Partai Golkar juga disebut terlibat kasus suap proyek Pekan Olahraga Riau, kendati ia membantahnya.
Politikus berlatar belakang pengusaha umumnya berperan mengawal proyek pemerintah. Ia mendapat fee dari "jasanya" itu. Rupanya hal ini menjadi praktek lazim di DPR. Nazaruddin, misalnya, mengawal puluhan proyek yang masuk daftar pembahasan di Badan Anggaran. Ia kemudian meminta pejabat pemerintah memberikan proyek itu kepada perusahaan tertentu, kalau bukan perusahaannya sendiri, lalu mendapat upah dari sana.
Fee tersebut dibagikan pula kepada koleganya di DPR untuk memuluskan anggaran proyek. Tender kemudian direkayasa, seolah-olah lelang terjadi, agar tak menyimpang dari peraturan tender pengadaan barang dan jasa. Cara kotor yang rapi ini terbukti ampuh untuk memperkaya mereka.
Konflik kepentingan mudah terjadi ketika pengusaha menjadi wakil rakyat. Ia akan mendapat isu dari tangan pertama soal proyek maupun kebijakan pemerintah. Saat pemerintah akan menaikkan harga bahan bakar minyak, mereka sudah tahu sebelum kebijakan itu dieksekusi.
Harus diakui, menggaet pengusaha merupakan cara cepat mengisi daftar calon legislator. Hubungan mutualisme pun tercipta: partai tak keluar biaya banyak untuk kampanye, pengusaha mendapat perlindungan politik atas usahanya. Trik dagang kemudian dipraktekkan dalam proses legislasi dan pembahasan anggaran demi kepentingan pribadi dan partainya. Lingkaran setan ini akan terus berputar bila partai tidak berkeinginan keras memutusnya.
Tentu tak semua pengusaha berperilaku buruk ketika terjun ke dunia politik. Itu sebabnya partai politik mesti selektif mencantumkan kaum pebisnis dalam daftar calon legislator. Partai mesti memiliki kriteria yang jelas. Bahkan rekam jejak mereka perlu dipaparkan secara terbuka kepada publik.
Mengambil jalan pintas dengan alasan apa pun tidaklah disarankan. Merekrut pengusaha dengan tujuan mendapatkan dana sama pragmatisnya dengan merangkul artis untuk memanfaatkan popularitasnya. Langkah ini mengabaikan para kader yang telah lama membesarkan partai, sekaligus membodohi rakyat.