Politikus Senayan semestinya ikut bertanggung jawab atas kisruh ujian nasional. Penganggaran yang mencurigakan, bahkan sempat diblokir oleh Menteri Keuangan, membuat pelaksanaan ujian berantakan. Anggaran negara tak bisa dikelola secara efektif dan efisien bila anggota Dewan Perwakilan Rakyat justru terkesan menyokong pemborosan.
Kesan itu sulit dihindari setelah Kementerian Keuangan mengungkapkan alasan pemblokiran anggaran Rp 62,06 triliun yang diajukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hanya anggaran Rp 11,01 triliun untuk gaji pegawai yang tidak ditahan. Anggaran ujian nasional termasuk yang sempat ditahan sehingga persiapannya mepet. Pemenang tender pencetakan dan distribusi naskah ujian hanya memiliki waktu sebulan untuk mengerjakan proyek berskala luas ini.
Kementerian Pendidikan sebelumnya mematok anggaran ujian Rp 543 miliar. Dalam pembahasan dengan Komisi Pendidikan DPR, anggaran tersebut didongkrak menjadi Rp 644 miliar. Inilah yang menyebabkan Menteri Keuangan waspada. Apalagi penganggaran banyak proyek lain juga mencurigakan. Akhirnya anggaran ujian baru disetujui pada Maret lalu sesuai dengan permintaan awal, Rp 543 miliar. Setelah anggaran dipastikan cair, barulah pemenang tender pencetakan naskah ujian meneken kontrak.
Mepetnya persiapan menyebabkan penyelenggaraan ujian meleset dari rencana. Menteri Pendidikan Mohammad Nuh baru mengetahuinya beberapa hari sebelum pelaksanaan ujian nasional untuk SMA berlangsung pada 15 April lalu. PT Ghalia Indonesia Printing-salah satu pemenang tender pencetakan dan distribusi naskah ujian-tak mampu menyelesaikan pesanan. Akibatnya, ujian siswa SMA di 11 provinsi harus diundurkan.
Hari ini giliran para peserta ujian SMP yang waswas. Jangan-jangan, pelaksanaan ujian SMP pun amburadul. Kalaupun naskah ujian datang tepat waktu, ada saja kekurangannya, dari jumlahnya yang kurang hingga naskah soal tertukar. Yang jelas, ujian nasional kali ini jauh lebih buruk dibanding tahun lalu ketika pertama kali pemusatan pengadaan naskah soal SMA/SMP dilakukan.
Boleh saja Menteri Nuh membentuk tim investigasi untuk mengusut kekacauan ini. Tapi persoalannya sudah terang benderang. Kisruh itu sebetulnya masih bisa dihindari andaikata pejabat penyelenggara ujian mengawasi ketat pencetakan naskah. Bukan hanya Kepala Badan Standar Nasional Pendidikan yang bertanggung jawab, tapi juga Kepala Badan Pendidikan dan Pengembangan di kementerian ini. Pemantauan tersebut penting karena waktunya amat mepet.
Tak cukup mengusut kisruh ujian nasional, Menteri Nuh mesti pula mengevaluasi kinerja anak buahnya dalam menyusun anggaran serta mempersiapkan dan mengawasi pekerjaan besar di kementerian ini. Pak Menteri harus berani mencopot para pejabat yang tak kompeten. Bila ada indikasi korupsi, harus dilaporkan ke penegak hukum.
Komisi Pendidikan DPR pun tak boleh lepas tangan. Sudah terlalu sering tarik-menarik anggaran terjadi. Bila tujuannya menggelembungkan anggaran sebesar-besarnya, lalu berharap mendapatkan fee, cara ini tentu amat memalukan.