Belajar Dari Pengalaman

Penulis

Sabtu, 5 Mei 1979 00:00 WIB

AMANGKURAT I dari istananya lari ke arah Tegal karena pemberontakan Trunojoyo. Satu episode kecil yang menarik, ialah cerita tentang bagaimana rombongan raja Jawa itu berunding buat pertama kalinya dengan orang-orang kumpeni Belanda. Seorang bupati, kata yang empunya cerita, marah ketika ia melihat seorang pejabat kumpeni menghadap Sultan seraya berdiri. Kemarahan dapat dileraikan, tapi insiden itu menunjukkan di abad ke-17 itu, seorang pribumi bisa marah atau tertawa melihat adat orang putih, tapi tanpa sikap defensif. Dia hanya melihat sesuatu yang janggal, tapi tak perlu mengambil sikap untuk "mempertahankan kebudayaan sendiri." Sebagaimana ia juga tak merasa perlu untuk meniru adat lain itu. Tapi sejarah dengan cepatnya setelah itu mendesakkan kehadiran "Barat" ke tengah kita. Di akhir abad ke-19 Kartini menyebut pantai Bandengan di Jepara sebagai "Klein Scheveningen", seraya ia membayangkan pantai Scheveningen di Negeri Belanda yang dibacanya dari buku. Ia bermimpi dengan tekad untuk bersekolah ke Eropa. Ia banyak mengecam adat ningrat Jawa. Tapi ia pada ketika lain juga mengatakan, lewat suratnya: "Kami sekali-kali tidak ingin membuat murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa . . . " Kartini juga tak lepas dari kenyataan zamannya: ia harus defensif. Begitu "kebudayaan Barat" disebut, seorang di Timur seperti merasa harus mengambil sikap. Kita seakan-akan tidak dapat melihatnya lagi dengan netral. Hampir tiap tulisan kaum cendekiawan kita tentang kebudayaan sejak akhir abad ke-19 sampai dengan kini, dengan jelasnya menunjukkan itu. Salah satu puncaknya, tentu saja, ialah seperti yang dikumpulkan dalam buku terkenal Polemik Kebudayaan. *** DI Iran, 1979, Ayatullah Khomeini juga berbicara tentang "Barat". Ia juga contoh dari suatu masa yang tak bisa lepas -- seperti terdesak -- dari hegemoni kebudayaan Barat itu, yang di Persia telah cukup luas menembus sejak ia belum lahir. Maka sementara menghadapi Shah Iran ia mencita-citakan suatu republik, pada pihak lain ia juga berbicara "Demokrasi, itu adalah Barat, dan kami tak menghendakinya. Kami tak menghendaki apa pun dari Barat serta anarkinya." Seperti ditulis oleh Mortea Kotobi, seorang ahli sosiologi di Universitas Teheran dalam Le Monde Diplomatique April 1979 tentang gagasan-gagasan Ayatullah Khomeini, bagi tokoh ini "tak ada dialektik yang mungkin antara sistim Islam dengan non Islam." Mungkin itu pula sebabnya proses peradilan yang kini banyak terdengar dari Iran, dengan hukuman tembaknya, adalah begitu rupa tak ada pembela, tak ada hak naik banding, dan jelas tak ada asas praanggapan tak bersalah. Hukum acara perdata sedemikian, yang "ruwet", juga berbau "Barat" dan mungkin mengharuskan institusi-institusi yang terdapat di negeri Barat. Jadi buat apa diturut? Yang sering dilupakan ialah bahwa dunia Barat justru datang kepada hal-hal yang "ruwet" itu dari suatu masa lalu yang tidak "ruwet". Revolusi Perncis di abad ke-15 lebih cepat lagi dalam membersihkan musuh-musuhnya untuk dipotong di bawah guillotine. Dan sejarah Eropa tidak berhenti sampai di situ dalam hal efisiensi kekejaman Hitler baru hilang kurang dari 40 tahun yang lalu. Namun betapa pun harus dicatat bahwa tiap kali Barat terkejut, lalu menyusun catatan dan membenahi pengalamannya yang dahsyat. Apa pun yang kita katakan tentang orang di Eropa itu, mereka belajar dari pengalaman. Tidak terlampau istimewa sebenarnya -- kecuali kenyataan bahwa bangsa-bangsa di luar mereka, yang konon lebih tua peradabannya, sampai kini nampaknya belum sempat belajar. Kesewenang-wenangan hari kemarin mudah dibiarkan berulang di hari esok. Padahal bila kita malu mengingat kesewenang-wenangan bangsa sendiri, kita toh masih bisa mengingat kesewenang-wenangan di Barat itu -- untuk suatu koreksi.

Berita terkait

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

5 hari lalu

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

Goenawan Mohamad mengatakan etik bukanlah sesuatu yang diajarkan secara teoritis, melainkan harus dialami dan dipraktikkan sehari-hari.

Baca Selengkapnya

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

5 hari lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

14 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

56 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.

Baca Selengkapnya

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.

Baca Selengkapnya

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya