17 Agustus. Benarkah kita butuhkan cerita pahlawan: tokoh-tokoh yang termashur, para pemimpin rakyat dan komandan pasukan? Jika masa lampau macam itu yang akan kita kenang, barangkali sejarah kita cukup selesai dengan serangkaian riwayat hidup orang-orang besar. Atau ia menjadi seperti cerita wayang. Di layar yang nampak hanya para raja dan kerabatnya. Unsur lain hanya diwakili oleh para dewa dan punakawan. Kita pun lupa bahwa perang sebesar Bharatayudha pastilah suatu perang yang melibatkan ratusan ribu manusia pegawai kecil, petani miskin dan anak-anak tak bersalah. Tidak cuma keluarga Bharata. Tapi kita agaknya terlampau banyak terkenang dongeng para sultan dan raja, hingga kita lupa bahwa Nusantara kita juga terdiri dari rakyat. Tak mengherankan apabila pada suatu ketika ada orang yang percaya, bahwa perjuangan kemerdekaan adalah perjuangan kaum intelektuil dan kaum elite lain -- dan bahwa rakyat hanya ikut-ikut. Tak heran bila mereka pun berbisik-bisik, "Rakyat masih bodoh, bung." Maka jika ada sejumlah petani bergejolak dan memprotes, dengan cepat itu dianggap "digerakkan." Dan ketika ada sejumlah rakyat marah punya ide untuk memutuskan kabel telepon,yang dipertanyakan ialah bagaimana mungkin mereka pinter? Bagaimana mungkin? Rakyat bukan segumpal batu. Salah satu jasa penelitian sejarah yang dilakukan Prof. Sartono Kartodirdjo dengan Protest Movements in Rural Java ialah karena ia menunjukkan bahwa perjuangan masa silam kita bukan cuma perlawanan para raja dan pangeran yang termashur. Para raja dan pangeran itu kiranya sudah cukup dicatat. Bukankah sejarawan R. Moh. Ali seperempat abad yang lalu menerbitkan bukunya dengan judul Perdjoangan Feodal Indonesia? Perjoangan para pemimpin "feodal" ini, kata Moh. Ali, "sebenarnya merupakan sebagian kecil dari perjoangan rakyat jelata yang dahsyat. Tetapi berkat kedudukan sang pemimpin feodal maka rakyat feodal dapat ditipu, dikhianati dan diperkuda .... " Kalimat Moh. Ali terlampau berapiapi (buku ini disusun di tahun 1948), dan ketepatan data-datanya mungkin masih bisa dipersoalkan. Tapi paling tidak menjelang akhir abad ke-19 hingga abad ke-20, memang terbukti gejolak rakyat di daerah pertanian pegang peranan penting dalam menyalakan api revolusi -- dan kita pun punya 17 Agustus 1945 dengan semangat yang menjalar ke sana ke mari. Rakyat memang bukan sesuatu yang netral. *** Rakyat juga bukan sesuatu yang tanpa bekas. Seorang cerdik cendekia pernah berkata: "Sebuah sejarah umat manusia yang kongkrit, kalau pun ada yang menuliskannya, tentu akan merupakan sejarah semua orang. Ia akan merupakan sejarah harapan, pergulatan dan penderitaan manusia." Dengan kata lain, ia bukan cuma sejarah kekuasaan. Ia bukan cuma sejarah tentang sukses. Barangkali riwayat umat manusia tak punya arti apa-apa. Tapi jika kita harus memberikan arti kepadanya, maka yang penting jelaslah bukan hanya kekuasaan dan sukses, tapi keluhuran manusia hingga ia bisa memberi dirinya makna walau pun tanpa semua itu. Sebab apakah artinya kekuasaan kini untuk nanti tahun 2000? Apakah artinya sukses untuk tahun 2000? Apakah yang akan kita tumbuhkan hingga kita bisa hidup bahagia dengan penduduk yang bertambah banyak, dengan minyak dan gas yang habis, dan pendapatan per kapita yang tak akan mencapai US$ 500? Di tanggal 17 Agustus ini, biarlah kita kian dekat dengan kenyataan itu. Tutupkan buku sejarah dan lihatlah cermin di sana kepada rakyat yang mengerti ketenteraman hati meski di bawah $500. Marilah kita lihat sejarah sebagai sejarah mereka: harapan, pergulatan, penderitaan, dan juga ketahanan.