Paulus Mujiran,
Penulis
Hasil hitung cepat lembaga-lembaga survei kredibel menempatkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sebagai pemenang Pemilihan Umum Presiden 2014. Meski sifatnya masih sementara, hitung cepat ini dapat dipergunakan untuk membaca arah koalisi.
Selama ini pasangan Jokowi-JK diusung oleh PDIP, NasDem, PKB, Hanura, dan PKPI dengan total suara di parlemen 27 persen. Sedangkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang diusung oleh Gerindra, Golkar, Demokrat, PPP, PAN, PKS, PBB menguasai 63 persen suara di parlemen. Prabowo mengakui kuatnya Koalisi Merah Putih dengan kemenangan dalam rapat paripurna pengesahan Undang-Undang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
Namun Pilpres 2014, baik versi hitung cepat maupun pengumuman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Juli, berpotensi mengubah peta koalisi.
Pertama, dari internal koalisi pendukung Jokowi-JK, tambahan anggota koalisi sangat diperlukan untuk lima tahun ke depan. Meski Jokowi-JK sudah menyatakan koalisi yang dibangun bukanlah koalisi bagi-bagi kekuasaan, pragmatisme politik tidak terhindarkan. Jokowi-JK tentu tidak ingin dikerjai oleh parlemen, seperti halnya pengesahan RUU MD3 yang menutup peluang PDIP menjadi pemimpin DPR. Jokowi-JK harus realistis, keputusan strategis, seperti pengesahan anggaran, membutuhkan persetujuan DPR.
Kedua, beberapa partai pendukung Prabowo selama ini tidak berpengalaman menjadi oposisi, kecuali Gerindra yang pernah bersama-sama PDIP di luar pemerintahan. Tapi Golkar, PPP, PAN, PKS, Demokrat, dan PBB adalah partai pendukung pemerintah. Apakah partai sebanyak itu tidak terbuai oleh daya tarik manisnya kursi kekuasaan? Apalagi sebagian kader Golkar sudah menyuarakan agar menerima hasil hitung cepat dan membicarakan arah koalisi.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar yang juga Menko Kesra, Agung Laksono, sudah menyatakan Golkar dibentuk untuk mendukung pemerintah. Dan jika Jokowi-JK yang ternyata mendapatkan mandat rakyat, Golkar harus mendukung. Beberapa sinyal bergabungnya sebagian partai pendukung Prabowo-Hatta ke kubu Jokowi-JK sebenarnya sudah terlihat dengan "membelotnya" sebagian kader Golkar.
Sikap mendukung Prabowo-Hatta dari Partai Demokrat yang hanya dilakukan Ketua Harian DPP Partai, bukan oleh Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono, patut dibaca sebagai strategi politik dua kaki yang juga dilakukan kubu Yudhoyono. Di kubu PPP, sikap bekas wapres dan Ketua Umum PPP Hamzah Haz juga dapat dibaca strategi PPP, apalagi setelah Ketua Umum PPP Suryadharma Ali dinyatakan sebagai tersangka korupsi dana haji.
Dalam konteks ini, kita membaca ada kebutuhan di kubu Jokowi-JK untuk memperkuat barisan koalisi, terutama di parlemen. Sementara itu, ada kebutuhan di sebagian partai pendukung Prabowo-Hatta untuk bergabung di pemerintahan. Belajar dari pengalaman pengesahan UU MD3, apakah kubu Jokowi-JK akan bertahan dengan koalisi ramping, tapi selalu kalah di parlemen?
Dengan demikian, pilpres pun pada akhirnya tak lebih sebagai politik dagang sapi yang menguntungkan elite politik ketimbang rakyat yang sudah susah payah memberikan suaranya. Ketegaran Jokowi-JK untuk tetap prorakyat, dengan tidak membagi-bagikan kursi menteri ke partai yang tidak berkeringat, dinantikan.
Berita terkait
Survei Capres Muhaimin Iskandar Rendah, PKB: Masih Ada Peluang
27 Desember 2021
Dalam survei tersebut Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar hanya dipilih 0,1 persen responden.
Baca SelengkapnyaDPR Dorong KPU dan Bawaslu Antisipasi Potensi Masalah Pemilu 2024
22 Desember 2021
Komisi II DPR meminta KPU dan Bawaslu Provinsi Jawa Barat mengantisipasi kesulitan pemilih menggunakan hak pilih, lantaran diprediksi akan banyak surat suara.
Baca SelengkapnyaSetya Novanto: Golkar Siap Menangkan Jokowi di Pilpres 2019
27 Maret 2017
Setya Novanto mengungkap hitung-hitungan apabila Jokowi kembali berhadapan dengan Prabowo dalam pilpres 2019.
Baca SelengkapnyaGagal Pilkada DKI, AHY Punya Modal Besar Ikut Pilpres 2019
22 Maret 2017
Qodari mengatakan masyarakat cukup mengenal figur Agus Yudhoyono atau AHY ini
Baca SelengkapnyaTiap Parpol Bisa Ajukan Calon Presiden, Jokowi: Masih Proses
16 Januari 2017
RUU Permilu Diperkirakan selesai sekitar bulan empat ke depan.
Sindrom I Want SBY Back, Sinyal Ani Yudhoyono Maju Capres?
10 September 2015
Ada spekulasi bahwa Demokrat memunculkan sindrom I Want SBY Back untuk mempersiapkan Ani Yudhoyono.
Baca SelengkapnyaJokowi Tak Butuh, Relawan Bakal Membubarkan Diri
28 Oktober 2014
Sampai saat ini mereka masih menunggu kepastian dari Jokowi.
Baca SelengkapnyaJokowi Dilantik, Relawan Jokowi-JK Berevolusi
13 Oktober 2014
Relawan Jokowi-JK turut mengontrol realisasi program pemerintah di pedesaan.
Baca SelengkapnyaFahri: Koalisi Pro-Prabowo Tidak Berencana Pilpres MPR
9 Oktober 2014
"Enggak ada agenda itu. Makanya, tidak perlu ditanyakan,"
kata
Fahri Hamzah soal agenda mengubah pemilihan presiden dari
langsung menjadi lewat MPR.
Giman Membawa Ratusan Pesan untuk Jokowi
30 September 2014
Dalam perjalanannya, pria yang kesehariannya berjualan kue putu keliling itu membawa buku catatan yang berisi ratusan pesan ditulis tangan.
Baca Selengkapnya