Pemilu Malaysia berakhir, dan kita tak menyaksikan perubahan signifikan. Barisan Nasional--koalisi partai pemerintah--mendapat suara mayoritas: 133 dari 222 kursi parlemen. Hanya, suara oposisi meningkat dibanding perolehan dalam pemilu empat tahun yang lalu--tanda bahwa pemerintah akan mendapat tentangan serius di parlemen kelak.
Diwarnai tudingan curang dari kelompok oposisi, pemilu ini bagaimanapun telah mempertahankan pemerintahan lama. Perdana Menteri Najib Razak telah dilantik kembali pekan lalu. Gelombang demokratisasi yang terjadi di tanah Arab dan sebagian negara ASEAN tampaknya belum menular ke Malaysia. Seperti di Indonesia pada era Soeharto, prosedur demokrasi memang telah dijalankan di sana. Tapi hakikat demokrasi--yakni semua orang mendapat hak dan kesempatan yang sama dalam proses politik, sosial, dan ekonomi--belum terlaksana.
Pemerintah dan penentangnya bertarung dalam sebuah arena yang tak adil. Prosedur checks and balances, misalnya melalui pers yang bebas, tak tersedia. Akses rakyat Malaysia terhadap informasi dibatasi hanya melalui saluran resmi pemerintah. Bahkan ceramah agama dipasok oleh Jabatan Kemajuan Islam (Jakim), sebuah lembaga negara yang dibuat khusus untuk memproduksi khotbah yang dipastikan tak menyerang pemerintah. Kekuatan masyarakat sipil tak terkonsolidasi karena dibelenggu aturan yang mengekang. Saat ini tinggal Malaysia dan Singapura yang masih menerapkan Internal Security Act--aturan yang membolehkan negara menangkap orang tanpa pengadilan jika ditengarai terlibat aksi yang dianggap mengganggu keamanan dan menentang pemerintah.
Stabilitas politik memang melahirkan pertumbuhan ekonomi. Tapi ekonomi yang ditegakkan dengan membelenggu kebebasan ibarat bangunan megah berfondasi batu kapur yang ringkih. Kebijakan afirmatif yang mengutamakan penduduk Melayu dalam memperoleh akses ekonomi dan sosial mudah memantik api cemburu. Dalam dunia bisnis, misalnya, etnis Melayu lebih gampang mendapatkan kredit bank ketimbang orang Cina dan India. Siswa Melayu juga lebih mudah masuk sekolah negeri ketimbang siswa etnis lain.
Ketidaksetaraan itu bagaikan sekam kering yang mudah terbakar--kondisi berbahaya yang semestinya disadari pemerintah. Segregasi Melayu dan bukan Melayu melahirkan (juga sebagai akibat dari) problem identitas yang belum selesai. Untuk waktu yang lama, identitas ke-Malaysia-an tak kunjung rampung didefinisikan. Orang Melayu dianggap penduduk "asli", sementara warga Cina dan India adalah "pendatang".
Faktanya, yang "asli" pun datang dari pelbagai tempat. Sejarah mencatat, warga melayu Malaysia adalah kumpulan dari imigran asal Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan sejumlah daerah lain di Nusantara dan negeri sekitar. Nenek moyang Perdana Menteri Najib bahkan adalah imigran yang merantau dari Sulawesi Selatan.
Hasil pemilu mengisyaratkan politik Malaysia belum akan berubah. Penambahan suara oposisi--ditengarai akibat dukungan minoritas Cina dan India kepada oposisi--belum mampu mengakhiri rezim Barisan Nasional. Empat tahun ke depan, Malaysia tetaplah Malaysia--negeri jiran yang sunyi, diam, namun menyimpan bara dalam sekam.