TEMPO.CO, Jakarta - Khudori, anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
Tak lama lagi Indonesia mempunyai presiden dan wakil presiden baru. Rakyat menumpukan harapan yang tinggi agar mereka lebih sejahtera. Petani dan nelayan, mayoritas penduduk negeri ini, berharap presiden dan wakil presiden terpilih merealisasi janji, visi-misi, dan program aksinya. Salah satu tujuan yang dipahatkan para calon presiden dan calon wakil presiden adalah membawa Indonesia (kembali) berdaulat pangan.
Dalam pelbagai kampanye, termasuk dalam pemilu-pemilu sebelumnya, misi berdaulat pangan selalu menjadi jualan. Namun, sampai sekarang tujuan itu masih jauh dari tercapai. Impor sejumlah komoditas penting, seperti gula, kedelai, jagung, susu, daging, gandum dan beras, masih amat besar. Padahal, pelbagai kebijakan untuk menekan impor tak kunjung ampuh. Bahkan, kebijakan dari pemerintah sering kali ditunggangi importir. Tahun lalu, impor aneka pangan mencapai US$12 miliar.
Produksi aneka pangan utama merosot atau stagnan. Target ambisius swasembada jagung, kedelai, gula dan daging, serta surplus beras 10 juta ton pada 2014 meleset, dan menyesatkan. Target indah di atas kertas, tapi tidak realistis di lapangan. Bagaimana mungkin swasembada tercapai jika infrastruktur irigasi rusak dan sawah terkonversi? Anehnya, meskipun produksi terus merosot, seperti terjadi pada kedelai, target tidak kunjung direvisi. Padahal, kinerja produksi pangan yang baik bisa menekan dampak buruk sistem perdagangan dan tata niaga yang tidak efisien, konsentris, dan oligopolis.
Instabilitas pangan selalu berulang. Hal ini terjadi karena dominasi orientasi pasar dalam kebijakan pangan. Hampir semua komoditas pangan, kecuali beras, diserahkan pada mekanisme pasar. Instrumen stabilisasi amat terbatas. Itu pun hanya pada beras. Orientasi ini tak salah kalau infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen sudah pejal pada guncangan pasar. Kenyataannya, ketiga persyaratan itu belum terpenuhi. Akibatnya, fluktuasi harga pangan selalu berulang. Hal ini tak hanya menggerus daya beli warga, tapi juga membuat inflasi melambung dan sulit dikendalikan.
Dominasi orientasi produksi membuat kesejahteraan petani terabaikan. Sekitar 57 persen dari 68 persen penduduk miskin di perdesaan adalah petani. Kondisi ini tak jauh beda dibanding pada tiga dekade lalu. Hal ini menunjukkan, lebih dari 30 tahun usaha menggenjot produksi pertanian tidak juga menggusur kemiskinan dari desa. Menurut BPS, angka kemiskinan di pertanian mencapai 56,1 persen, jauh di atas industri (6,77 persen). Sebagai produsen pangan, petani justru menjadi kelompok yang paling terancam oleh masalah rawan pangan. Ini tak bisa dibiarkan.
Untuk mencapai kedaulatan pangan, perubahan kebijakan diperlukan. Pertama-tama, perlu dipahami kedaulatan pangan merupakan prasyarat sebuah ketahanan. Ketahanan pangan baru akan tercipta kalau kedaulatan pangan dimiliki rakyat. Dari perspektif ini, pangan dan pertanian semestinya tidak ditaruh di pasar yang rentan, tapi ditumpukan di pundak dan kemampuan sendiri. Agar bisa berdaulat pangan, pertama, petani sebagai pelaku utama harus berdaulat. Petani akan berdaulat apabila ia memiliki tanah, bukan menjadi buruh atau penggarap. Karena itu, untuk menjamin tegaknya kedaulatan pangan, akses dan kontrol petani (kecil) terhadap sumber daya produksi penting (tanah, air, benih, teknologi, pasar, dan finansial) harus dijamin, salah satunya lewat reforma agraria. Tanpa jaminan akses dan kontrol sumber daya produksi, kedaulatan hanya omong kosong.
Dalam konteks lingkungan alam, petani perlu perlindungan atas berbagai kemungkinan kerugian bencana alam, seperti kekeringan, banjir, dan bencana lain. Negara perlu memberi jaminan hukum bila hal itu terjadi petani tak terlalu menderita. Salah satu caranya, adanya UU yang mewajibkan pemerintah mengembangkan asuransi kerugian atau kompensasi kerugian bagi petani atas dampak bencana alam atau hal sejenis. UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang ada jauh dari memadai.
Dalam lingkup lingkungan sosial-ekonomi, negara perlu menjamin struktur pasar bahwa yang menjadi fondasi pertanian adalah struktur pasar yang adil. Hal ini tidak hanya untuk mengatasi masalah struktur pasar yang tidak adil di dalam negeri, tapi juga sebagai siasat atas struktur pasar dunia yang tak adil bagi negara-negara berkembang. Pendek kata, semua yang menambah biaya eksternal petani, menurunkan harga riil produk pertanian, dan struktur yang menghambat kemajuan pertanian perlu landasan hukum yang kuat agar perlindungan petani bisa dilaksanakan sebagai kewajiban negara (Pakpahan, 2012).
Bagi Indonesia, dengan segenap potensi yang ada (lahan, kekayaan hayati, local knowledge, dan yang lain), tidak ada alasan untuk tidak berdaulat pangan. Kedaulatan pangan tidak kunjung tercapai karena pelbagai kebijakan menjauh, bahkan menegasikan pencapaian kedaulatan pangan. Momen pemilu presiden memberi harapan baru. Namun, semua bergantung pada kebijakan yang akan diambil presiden terpilih: akankah membuat kebijakan yang memperkuat atau justru menegasikan kedaulatan pangan?
Berita terkait
Trenggono Sebut Perbankan Ogah Danai Sektor Perikanan karena Rugi Terus
2 hari lalu
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan bahwa sektor perikanan kurang mendapat dukungan investasi dari perbankan. Menurut dia, penyebabnya karena perbankan menghindari resiko merugi dari kegiatan investasi di sektor perikanan itu.
Baca SelengkapnyaKKP Anggarkan Rp 662 Miliar untuk Kesetaraan Gender, Ada 148 Ribu Perempuan di Sektor Perikanan
43 hari lalu
Anggaran untuk mendukung perempuan dan disabilitas yang ada dalam sektor perikanan nasional.
Baca SelengkapnyaAnies Baswedan Ingin Gorontalo Menjadi Kota Agropolitan, Ini Artinya
10 Januari 2024
Calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan menginginkan Gorontalo menjadi kota agropolitan. Apakah itu?
Baca SelengkapnyaGaet Konservasi Indonesia dan OceanX, Kemenko Marves dan KKP Eksplorasi Ekosistem Bawah Laut
16 Desember 2023
KKP menjalin kemitraan dengan Konservasi Indonesia (KI) dalam pelaksanaan program Blue Halo S.
Baca SelengkapnyaSektor Pertanian Penggerak Ekonomi dan Membuka Lapangan Pekerjaan
3 Juli 2022
Di Kabupaten Sumedang, sektor pertanian menjadi salah satu penyumbang terbesar terhadap PDRB, kontribusinya mencapai 18 persen.
Baca SelengkapnyaKKP Rancang Permen Rehabilitasi dan Pencemaran Perikanan Budidaya
16 Mei 2022
KKP menyiapkan strategi pemanfaatan sumber daya alam, untuk membangun perikanan budidaya secara efisien dan berkelanjutan.
Baca SelengkapnyaTertarik Belajar Pertanian? Beasiswa S1 Bakti Tani 2022 Dibuka, Cek Syaratnya
3 Februari 2022
TaniFoundation dan Yayasan Khouw Kalbe membuka pendaftaran beasiswa Bakti Tani 2022 untuk siswa lulusan SMA/SMK sederajat yang ingin lanjut S1.
Baca SelengkapnyaKaltara Akan Terapkan Food Estate Berbasis Korporasi untuk Majukan Petani
13 November 2021
Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) akan menerapkan konsep food estate berbasis korporasi untuk mengubah cara pikir petani menjadi petani profesional.
Baca SelengkapnyaStartup Perikanan Aruna Bakal Disuntik Modal SoftBank
15 Agustus 2019
SoftBank siap menanamkan modalnya di sejumlah startup anyar di Indonesia. Salah satunya adalah startup bidang perikanan, Aruna.
Baca SelengkapnyaNilai Ekonomis Tinggi, KKP Kembangkan Budi Daya Kerang Abalone
11 Agustus 2019
Sedikitnya terdapat tiga keuntungan dari teknologi budi daya abalone.
Baca Selengkapnya