Seremoni tahunan Hari Tanpa Tembakau Sedunia tak ada gunanya tanpa upaya sungguh-sungguh memerangi dampak zat adiktif tembakau itu. Begitu gencar kampanye anti-merokok, namun serbuan iklan rokok tak pernah berhenti. Jumlah perokok pun bertambah dari tahun ke tahun. Di Indonesia, setiap hari 127 orang--atau 46 orang per jam--meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan rokok. Sudah waktunya semua pihak bertindak lebih serius. DPR pun, ketimbang berusaha keras memasukkan Rancangan Undang-undang Pertembakauan yang pro-industri tembakau, semestinya mengegolkan Rancangan Undang-Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau.
RUU Pengendalian Tembakau, yang sebetulnya sudah masuk Program Legislasi Nasional namun kemudian didrop, sudah sangat mendesak. Pertumbuhan jumlah korban kecanduan rokok di negara kita amat besar. Data WHO menunjukkan angka pecandu rokok di Indonesia terus meningkat, dari 53,9 persen pada 1995 menjadi 67,8 persen pada 2011. Itu berarti dua dari tiga pria di negara ini merupakan perokok. Indonesia menempati urutan ketiga soal jumlah perokok setelah Cina dan India.
Fakta yang lebih mencemaskan adalah jumlah perokok muda terus bertambah. Badan Pusat Statistik menyebutkan konsumsi rokok di kalangan remaja dan anak-anak Indonesia adalah yang tercepat di dunia. Prevalensi merokok di kalangan remaja laki-laki umur 15-19 tahun meningkat 139,4 persen selama 1995-2004; dari 13,7 persen menjadi 32,8 persen. Jumlah perokok perempuan pun meningkat lebih dari enam kali lipat.
Data itu semestinya lebih dari cukup untuk memaksa semua pihak lebih bersungguh-sungguh mengatasi dampak berbahaya produk tembakau. Kita bisa menunggu Dewan Perwakilan Rakyat segera mewujudkan RUU Pengendalian Tembakau. Namun, sambil menunggu proses yang lama itu, apalagi DPR lebih cenderung mengegolkan undang-undang yang pro-industri rokok, menegakkan aturan-aturan yang sudah ada akan sangat membantu.
Salah satu aturan yang semestinya dijalankan dengan sungguh-sungguh adalah Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif dan Tembakau. Aturan yang merupakan turunan dari UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ini sebetulnya cukup ketat mengatur peredaran produk tembakau. Diatur, misalnya, ketentuan mengenai pemasangan iklan dan promosi produk rokok. Juga diatur bahwa pemerintah daerah wajib membuat kawasan bebas rokok. Bahkan ada pasal yang melarang penjualan rokok kepada remaja berusia di bawah 18 tahun dan perempuan hamil.
Aturan ini resmi berlaku sejak Desember lalu. Namun kita bisa melihat dengan mudah betapa ketentuan ini tak pernah punya gigi. Tak ada kesungguhan untuk melakukannya, apalagi menindak para pelanggar. Jakarta adalah salah satu contoh. Bahkan, sebelum peraturan itu berlaku, pemerintah DKI sudah membuat Perda Kawasan Merokok.
Ketentuan itu semula dijalankan dengan ketat, namun akhirnya melempem. Operasi penindakan yang sempat digelar belakangan tak ada lagi. Jika menjaga kawasan bebas rokok saja tidak mampu, bagaimana mungkin pemerintah bisa mengawasi agar pedagang tidak menjual rokok kepada anak di bawah 18 tahun?
Segala bentuk undang-undang dan peraturan bisa saja kita buat, namun akan percuma tanpa diiringi kesungguhan menegakkannya.