Untuk kesekian kalinya penegak hukum teledor menangani kasus anak. Di Pengadilan Negeri Pematangsiantar, Sumatera Utara, hakim memvonis DS, bocah berusia 11 tahun, dengan hukuman 66 hari. Proses hukum ini jelas melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa anak yang belum berusia 12 tahun tak boleh diadili.
Semula, batas minimal anak yang bisa dibawa ke meja hijau memang delapan tahun. Tapi aturan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini telah direvisi oleh MK dua tahun lalu. Mahkamah mengubah batas minimal itu menjadi 12 tahun.
Ketentuan itu telah diadopsi UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, undang-undang yang lebih melindungi kepentingan anak. Kendati undang-undang ini baru berlaku efektif pada 2014, semestinya hakim tunggal Roziyanti tahu ia tetap boleh mengadili DS. Soalnya, putusan MK tersebut bersifat mengikat sekaligus merevisi undang-undang lama yang hingga sekarang masih berlaku,
Benar, pengadilan tidak boleh menolak perkara. Tapi hakim setidaknya bisa bersikap tegas dengan tidak menjatuhkan vonis terhadap DS. Biarlah kejaksaan dan kepolisian dipersalahkan karena telah menahan bocah ini selama dua bulan. Lembaga pemasyarakatan tempat DS ditahan pun tak bisa lepas tangan. Tidak seharusnya instansi di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ini menerima tahanan di bawah umur. Apalagi bocah itu disekap satu sel bersama 23 narapidana dewasa dan mendapat perlakuan kasar hingga membuatnya trauma.
Bocah tersebut memang mengakui telah mencuri telepon seluler dan komputer jinjing seorang mahasiswi. Tapi ia harus diperlakukan berbeda karena masih anak-anak. Bocah ini bisa diserahkan kembali kepada orang tua atau walinya untuk dididik. Pilihan lain adalah mengikutsertakan sang anak dalam program pendidikan dan pembimbingan di dinas sosial atau instansi pemerintah lainnya.
Setelah kasus DS disorot publik, barulah para penegak hukum saling menyalahkan. Padahal Ketua Mahkamah Agung sudah membuat Surat Keputusan Bersama 2009 yang diteken pimpinan lembaga penegak hukum dan instansi lain, seperti Jaksa Agung, Kapolri, serta Menteri Hukum dan HAM. Dalam SKB tersebut disebutkan bahwa permasalahan pidana anak mesti diselesaikan dengan cara kekeluargaan.
Kelalaian seperti itu pun berulang kali terjadi. Dua tahun lalu, misalnya, Pengadilan Anak Cianjur, Jawa Barat, juga menghukum anak yang mencuri pengeras suara masjid. Tahun lalu, giliran pengadilan Palu, Sulawesi Tengah, memutus bersalah seorang remaja yang mencuri sepasang sandal seharga Rp 30 ribu.
Tiada cara lain untuk mencegah berulangnya kejadian serupa kecuali dengan memberikan sanksi berat kepada hakim, jaksa, dan polisi yang tidak profesional, bahkan kejam, terhadap anak. Jangan sampai publik semakin sinis terhadap mereka. Penegak hukum seolah hanya sanggup menjerat anak-anak, bukan maling dan koruptor besar yang kini merajalela.