Inilah "buah" ketidakseriusan mengurus jalan-jalan di Ibu Kota. Banyak jalan yang dipenuhi pedagang kaki lima dan mobil yang parkir sembarangan. Akibatnya, kemacetan di Jakarta semakin parah. Langkah Gubernur DKI Joko Widodo menertibkan enam jalan utama patut didukung. Namun Jakarta butuh upaya pembenahan yang lebih mendasar dan permanen, seperti pembatasan penggunaan kendaraan dan denda parkir yang lebih keras.
Saat ini, kemacetan di Jakarta sudah kronis. Baru-baru ini kantor berita Inggris, BBC, menempatkan Jakarta di antara 10 kota termacet di dunia. Tentu ini bukan promosi yang bagus.
Masalah utama transportasi di Jakarta adalah perbandingan panjang jalan yang jomplang dengan jumlah kendaraan. Saban tahun kendaraan bertambah 11 persen, sedangkan panjang jalan cuma tumbuh 0,01 persen. Rasio panjang jalan di Jakarta dibandingkan dengan luas wilayah juga cuma 6,2 persen. Akibatnya, kecepatan rata-rata kendaraan cuma 20 kilometer per jam. Bahkan, pada jam sibuk, lajunya hanya 5 sampai 10 kilometer per jam.
Bandingkan dengan negara jiran, Singapura, di mana rasio panjang jalan mencapai 12 persen. Negeri mungil itu juga masih punya sistem transportasi massal berupa kereta listrik, yang mengangkut 2 juta penumpang per hari.
Keadaan itu diperparah oleh adanya penyempitan jalan. Selama bertahun-tahun, gubernur-gubernur Jakarta tak pernah tegas terhadap pedagang kaki lima dan praktek parkir liar. Kalaupun ada tindakan keras, seperti penggembokan mobil yang parkir sembarangan atau penertiban pedagang, kerap kali hanya hangat-hangat tahi ayam.
Tindakan serupa kali ini dilakukan Gubernur Joko Widodo. Dia membersihkan enam jalan utama di Jakarta. Di kawasan Jatinegara, misalnya, para pedagang diminta berpindah ke pasar-pasar modern di sekitarnya. Mobil yang parkir serampangan juga digerendel.
Jika tidak ingin mengulangi kesalahan gubernur terdahulu, langkah Jokowi itu seharusnya tak hanya sementara dan parsial. Upaya itu harus diikuti strategi besar, seperti memainkan tarif parkir sebagai alat untuk membatasi jumlah kendaraan. Di New York, misalnya, tarif parkir dibikin mahal, satu jam Rp 160 ribu. Di Singapura juga tarifnya sekitar Rp 20 ribu per jam. Karena tarif parkir mahal serta tidak ada parkir liar, orang cenderung memakai transportasi publik, seperti kereta atau bus, ketimbang memakai kendaraan pribadi.
Opsi lain adalah menambah lahan parkir di pinggir kota di dekat terminal busway atau kereta listrik. Jokowi juga bisa segera menerapkan pembatasan kendaraan berdasarkan nomor polisi ganjil-genap. Patut disayangkan Pemda DKI sangat lambat bertindak. Pemberlakuan sistem ganjil-genap, misalnya, diundurkan dari Maret lalu menjadi akhir tahun. Padahal sistem ini diperkirakan mengurangi sampai 30 persen tingkat kemacetan di ruas-ruas jalan utama Ibu Kota. Jokowi semestinya memainkan semua instrumen pengurai kemacetan, bukan cuma berharap pada mass rapid transit (MRT) yang baru terwujud pada 2016.