Belum genap lima tahun Mahkamah Konstitusi menangani sengketa pemilihan kepala daerah. Kini, pemerintah seperti ingin memutar balik jarum jam sejarah. Kementerian Dalam Negeri mengusulkan agar penyelesaian sengketa dikembalikan ke pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung. Usul ini hanya akan menimbulkan persoalan baru.
Upaya mempreteli wewenang MK itu cukup serius. Sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat juga setuju dengan usul yang dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah itu. Pemerintah dan politikus Senayan berargumen, bila pilkada dilaksanakan serempak, bisa terjadi penumpukan perkara. Katanya, hal itu bakal merepotkan MK.
Alasan tersebut amat menggelikan sekaligus tak berpijak pada realitas. Pemilihan serempak belum terjadi. Soal penumpukan perkara pun bukan monopoli MK. Mahkamah Agung bahkan lebih lama menjadi gudang tunggakan perkara. Jika dialihkan ke MA, penanganan sengketa pilkada justru akan memakan waktu lebih lama.
Dulu, sengketa pilkada pernah ditangani oleh MA, kemudian dialihkan ke MK melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengalihan itu bukan tanpa dasar. Amendemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, wewenang MK antara lain memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
Selama ditangani MA, banyak putusan sengketa pemilihan kepala daerah yang memicu kontroversi. Misalnya pemilihan Wali Kota Depok pada 2005. Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan MA membatalkan putusan Komisi Pemilihan Umum Depok yang memenangkan Nurmahmudi Ismail. Pada tahap peninjauan kembali, barulah Mahkamah mengukuhkan keputusan Komisi Pemilihan itu.
Banyaknya putusan yang tak konsisten menggerus wibawa MA. Sebaliknya, bila minimnya protes bisa dijadikan ukuran, MK cukup berhasil sebagai wasit sengketa pilkada. Sejak 2008, lembaga ini sudah memutus 554 perkara?dari 564 gugatan atas hasil pemilihan kepala daerah. Sejauh ini, tak pernah ada perlawanan keras terhadap putusan yang bersifat final itu.
Perjalanan perkara di MK pun lebih mudah diawasi ketimbang di MA. Sidang MK selalu terbuka. Hakim konstitusi yang berbeda pendapat bebas mengungkapkan sikap dan posisinya (dissenting opinion). Memang gedung MK tak selalu steril dari makelar perkara. Tapi, sejauh ini, proses hukum di sini masih jauh lebih baik dibanding di lembaga lain, termasuk MA.
Sidang sengketa pemilihan kepala daerah di Pengadilan Tinggi pun rawan benturan fisik. Di daerah, para kandidat lebih mudah memobilisasi massa ketimbang bila sidang digelar di Jakarta. Padahal, di bawah tekanan massa, independensi hakim dalam memutus perkara pun dipertaruhkan.
Agar perkara pemilihan kepala daerah tak membeludak, sebaiknya dibuat aturan pembatas: hanya perkara dengan kecurangan signifikan yang bisa digugat ke MK. Faktanya, dari 564 gugatan yang masuk ke lembaga ini, hanya 58 perkara yang dikabulkan. Artinya, hampir 90 persen gugatan lebih didasari mental tak siap kalah ketimbang bukti atau argumen hukum yang kuat.