Entah bukti apa lagi yang dibutuhkan Markas Besar Kepolisian RI agar bergerak menuntaskan kasus proyek pabrik vaksin flu burung. Sudah setahun lebih kasus yang melibatkan bekas Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin itu mandek di Mabes Polri. Padahal borok-borok proyek yang ditaksir "melubangi" keuangan negara sekitar Rp 450 miliar itu begitu kasatmata.
Apa yang sudah dilakukan Polri sangat tidak memadai. Mereka baru sebatas menyegel bangunan di kawasan Pasteur, Bandung, dan Universitas Airlangga, Surabaya, serta menyita alat produksi dan uang sekitar Rp 500 juta. Kalaupun ada tersangka yang sudah ditetapkan, itu baru Tunggul P. Sihombing. Kepala bagian di Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan itu adalah pejabat pembuat komitmen proyek. Namun, setelah penetapan tersangka, kasus ini telantar. Aneh.
Dengan membiarkan kasus proyek senilai Rp 718,8 miliar itu mandek, polisi akan membuat publik semakin sinis. Apalagi patgulipat proyek Nazaruddin dan rekan-rekannya itu semakin lama justru semakin terkuak. Semula kasus ini muncul karena Badan Pemeriksa Keuangan menemukan adanya kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah.
Belakangan, mencuat pula dugaan kuat bahwa proyek itu lahir berkat lobi Nazaruddin dengan parlemen dan jajaran birokrat. Nazaruddin lah yang "menitipkan" proyek ini kepada Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat sehingga akhirnya bisa masuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008. Dana ratusan miliar rupiah pun mengucur ke PT Bio Farma, sebagai pelaksana proyek, melalui Kementerian Kesehatan. Imbalannya, diam-diam PT Anugrah Nusantara milik Nazaruddin menjadi pemenang tender pengadaan barang.
Peran sentral Nazaruddin dan pejabat "kolega"-nya inilah yang seharusnya diungkap, bukan malah ditutup- tutupi. Muncul kesan polisi sengaja tidak menyentuh Nazar, pejabat Bio Farma, dan politikus Senayan yang membantu "berbelanja anggaran" di DPR. Proyek membiakkan vaksin ini digarap pada 2008 dan 2009saat itu Menteri Kesehatan dijabat Siti Fadilah Supari. Kala itu, Nazaruddin dan stafnya sangat aktif mengegolkan proyek yang sebelumnya pernah ditolak tersebut. Beberapa kali Nazaruddin menyusupkan anggota stafnya dalam rapat di Kementerian Kesehatan, menyaru sebagai karyawan Bio Farma.
Polisi seharusnya menelisik pula salah satu kejanggalan terpenting, yang juga disebut dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan 5 Juni 2012, yakni absennya Kementerian Kesehatan dalam proses pengajuan anggaran. Hal ini bertabrakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga. Menurut aturan itu, semestinya rencana kerja dibuat sebelum anggaran diketuk.
Jika tak sanggup mengusutnya, polisi seharusnya legawa menyerahkan kasus ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Lambannya kerja polisi membuat pabrik vaksin yang sudah dibangun 80 persen itu terbengkalai. Kementerian Kesehatan pun takut meneruskannya. Padahal Indonesia amat membutuhkan vaksin itu karena wabah selesma burung kerap datang ke negeri ini.