Hubungan tak selaras antara Ratu Atut Chosiyah dan Rano Karno bukan gejala baru. Sekali lagi, hal ini menunjukkan rapuhnya kongsi kepala daerah dan wakilnya. Tapi sungguh keliru bila persoalan semacam ini diatasi dengan mengubah mekanisme pemilihan secara drastis.
Pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Banten itu terlihat retak setelah Rano terang-terangan mengatakan sempat berniat mundur. Alasannya pun klasik. Sebagai wakil gubernur, ia merasa tidak dioptimalkan. Tapi pernyataan ini ditepis oleh Gubernur Atut, yang mengaku telah memberikan peran yang cukup bagi wakilnya itu.
Harus diakui, wewenang wakil gubernur tidaklah besar. Seperti diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, ia hanya membantu dan memberi saran kepada kepala daerah, serta memantau roda pemerintahan. Bisa saja seorang gubernur memberikan tugas khusus bagi wakilnya. Tapi undang-undang tetap menguncinya: semua pelaksanaan tugas itu harus dilaporkan kepada kepala daerah.
Friksi tak akan terjadi andaikata pasangan Atut-Rano-dulu diusung antara lain oleh Partai Golkar dan PDIP-telah membuat semacam kontrak politik. Kesepakatan bukan hanya soal pembagian tugas pemerintahan, tapi juga visi politik mereka. Bahkan, mesti ada kejelasan, apakah sang wakil gubernur boleh mencalonkan diri menjadi gubernur untuk pemilihan berikutnya. Partai politik pendukung mereka juga perlu dilibatkan dalam kesepakatan itu.
Tanpa adanya kesepakatan, konflik akan gampang meletik. Realitas ini sudah terjadi di banyak daerah. Dulu, Bupati dan Wakil Bupati Garut, Aceng Fikri dan Diky Chandra, sampai pecah kongsi. Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf, juga retak, bahkan saling berhadapan dalam pemilihan gubernur lalu.
Kementerian Dalam Negeri mencatat, penyakit pecah kongsi menghinggapi hampir 90 persen pemimpin daerah. Dengan dasar ini, pemerintah mengusulkan agar wakil kepala daerah tidak perlu dipilih oleh rakyat, melainkan cukup dipilih oleh dewan perwakilan rakyat daerah. Usulan ini masuk Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang kini sedang dibahas oleh DPR.
Hanya, sulit meyakini perubahan mekanisme itu sebagai obat yang manjur, kecuali bila jabatan wakil kepala daerah ditiadakan sama sekali. Toh, sekretaris daerah bisa dijadikan ban serep. Dikhawatirkan pemilihan lewat mekanisme berbeda justru semakin membuat kepala daerah dan wakilnya gampang terbelah. Apalagi bila kepala daerah dan wakilnya masing-masing didukung oleh kelompok partai politik yang berlawanan.
Jika kontrak politik belum cukup, perlu dipikirkan resep lain yang lebih baik agar friksi seperti Rano-Atut tak terulang. Kalangan partai politik pun semestinya ikut bertanggung jawab atas pasangan yang mereka sokong. Apalagi konflik pemimpin daerah yang merugikan rakyat itu sering dilatarbelakangi perpecahan partai penyokong mereka.