Ke Universitas, Bukan Untuk Gelar

Penulis

Sabtu, 19 Agustus 1978 00:00 WIB

PAK Susman mengajar geometri untuk SMP Negeri yang dipimpinnya. Ia seorang guru yang akan dikenang para muridnya seumur hidup. Sebab pada suatu hari ia tiba-tiba bertanya: "Untuk apa kamu belajar ilmu ukur?". Adapun yang ditanyainya adalah murid-murid kelas satu yang kedinginan oleh angin. Waktu itu hari mendung. Dan seperti setiap hari mendung, kelas di gedung bekas kamar bola Belanda di kota P itu gelap. Dan Pak Susman, dengan mata yang mulai tua tapi berwibawa, nampak kian angker dengan pertanyaannya yang mustahil dijawab. Untuk apa belajar ilmu ukur? Tapi pak kepala sekolah itu rupanya tahu, bahwa anak-anak akan diam. Maka suaranya pun seperti bergumam, ketika ia menyelesaikan sendiri tanda-tanya yang ia lontarkan tadi: "Kamu semua belajar ilmu ukur bukan untuk jadi insinyur. Tapi supaya terlatih berfikir logis, yaitu teratur." Lalu, dengan antusiasme mengajar yang khas padanya, ia pun menjelaskan. Satu soal misalnya menyebutkan hal-hal yang sudah diketahui dari sebuah bangunan geometri. Ada rumus-rumus yang menyimpulkan pelbagai hubungan dalam bangunan seperti itu. Nah, jika anak-anak diminta membuktikan suatu hal dari dalam soal itu, maka mereka harus berfikir secara teratur: dari hal-hal yang sudah diketahui, sampai kesimpulan yang bisa ditarik. Yang menakjubkan bukan saja ia dapat menjelaskan proses berfikir logis itu dengan gamblang di hadapan sejumlah bocah kedinginan yang berumur 13 tahun. Yang juga mengagumkan ialah bahwa ia, seorang kepala sekolah yang tak dikenal, di sebuah SMP bergedung buruk, dalam sebuah kota yang tak penting, ternyata bisa menanamkan sesuatu yang sangat dalam. Yakni: apa sebenarnya tujuan pendidikan sekolah. Pak Susman meninggal kira-kira 20 tahun yang lalu. Seandainya ia masih hidup, dan bertemu dengan seorang bekas muridnya yang lagi lintang pukang menyiapkan diri untuk ujian SKALU, barangkali ia juga akan bertanya: "Untuk apa semua itu?" Ya, untuk apa? Ada sebuah sandiwara keagamaan TVRI beberapa waktu yang lalu. Seorang ayah menanyai ketiga anaknya, dengan pertanyaan yang mirip "Apa cita-citamu? Apa tujuanmu sekolah?" Yang pertama menjawab "Saya akan jadi pemilik pabrik paku." Yang kedua menyahut "Saya akan jadi rohaniawan." Yang ketiga berkata "Saya akan jadi sarjana." Jawaban yang pertama, "pemilik pabrik paku," adalah spesifik, jelas, terperinci. Jawaban yang kedua juga tak memerlukan tanda-tanya baru. Tapi jawaban "Saya akan jadi sarjana" terasa belum selesai. Diucapkan dalam bahasa Indonesia masa kini, kata "sarjana" adalah sebuah pengertian yang melayang-layang. Kita tak bisa menyama-artikannya dengan kata scholar. Atau scientist. Arti "sarjana" yang lazirm kini tak lain dan tak bukan hanyalah: "lulusan perguruan tinggi." Maka jika anda masuk sebuah perguruan tinggi, karena bercita-cita menjadi "sarjana", itu samalah kira-kira jika anda melangkah, karena ingin berjalan. Sudah semustinya. Kekaburan itu terjadi agaknya bukan cuma karena kacaunya pengertian "sarjana". Tapi juga karena sejumlah ilusi. Ilusi yang terpokok ialah ilusi tentang pendidikan sekolah serta tujuannya. Sudah tentu salah bahwa tujuan bersekolah di universitas adalah untuk mendapatkan gelar. Tapi tak kurang salahnya untuk mengira bahwa di universitas orang akan menemukan pusat ilmu, ataupun puncak pendidikan ketrampilan. Sebab bak kata Rasul Tuhan, orang harus mencari ilmu dari buaian sampai ke liang lahad. Dewasa ini paa pemikir pendidikan juga berbicara tentang "pendidikan seumur hidup". Dan dalam proses itu, universitas hanyalah sepotong kecil. Seorang doktorandus, seorang Ph.D., barulah mengambil bekal untuk perjalanan panjang yang sebenarnya. Mereka belum selesai -- juga belum selesai bodohnya. Karena itu seandainya Pak Susman masih hidup, ia pasti akan bilang "Kamu masuk universitas, itu supaya bisa terlatih berfikir ilmiah." Itu saja, kalau dapat.

Berita terkait

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

4 hari lalu

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

Goenawan Mohamad mengatakan etik bukanlah sesuatu yang diajarkan secara teoritis, melainkan harus dialami dan dipraktikkan sehari-hari.

Baca Selengkapnya

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

5 hari lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

14 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

55 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.

Baca Selengkapnya

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.

Baca Selengkapnya

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya