Pengangkatan Patrialis Akbar sebagai hakim Mahkamah Konstitusi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bukan langkah tepat. Keputusan ini memberi kesan Presiden tidak transparan. Bisa dimengerti jika, setelah keputusan itu, sekelompok orang yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi menyatakan penolakannya dan menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Mereka menuntut agar pengangkatan Patrialis menggantikan hakim Ahmad Sodiki yang pensiun dibatalkan.
Koalisi beranggotakan sejumlah organisasi, seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Indonesia Corruption Watch, dan Kontras, ini menilai pengangkatan Patrialis melanggar tiga undang-undang. Salah satunya, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 19 undang-undang ini mensyaratkan pencalonan hakim konstitusi harus transparan dan partisipatif. Sedangkan Pasal 20 ayat 2 menyebutkan pemilihan hakim konstitusi harus obyektif dan akuntabel. Syarat-syarat itulah yang dianggap telah dilanggar.
Alasan gugatan itu masuk akal karena sesungguhnya Mahkamah Konstitusi sudah memulai tradisi pemilihan hakim yang transparan dan partisipatif. Ini terjadi terutama pada periode kepengurusan tahap dua Mahkamah, yaitu 2008-2013. Saat itu, pemilihan hakim oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berlangsung terbuka. Dari fit and proper test oleh DPR, terpilih Jimly Asshiddiqie, Mahfud Md., dan Mohammad Akil Mochtar.
Proses serupa berlangsung di pihak pemerintah. Presiden menunjuk Adnan Buyung Nasution, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, membentuk komisi pemilihan. Komisi inilah yang kemudian menggelar fit and proper test untuk mendapatkan tiga nama hakim konstitusi. Proses berlangsung transparan, dan didapatkan tiga nama hakim: Abdul Mukti Fadjar, Maria Farida Indrati, dan Achmad Sodiki. Hanya pemilihan di lembaga Mahkamah Agung yang berlangsung tertutup.
Pemilihan terbuka oleh DPR dan pemerintah itu adalah contoh penerapan transparansi. Maka, jika sekarang pemerintah meniru cara di Mahkamah Agung yang tertutup dan Presiden langsung menunjuk Patrialis, ini adalah langkah mundur.
Istana berdalih pengangkatan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu tidak melanggar Pasal 19 dan 20 Undang-Undang Mahkamah. Alasannya, proses mendengarkan pendapat dan rekomendasi sejumlah menteri telah berlangsung. Namun argumen ini tak cukup untuk menunjukkan bahwa telah terjadi proses yang transparan.
Perbedaan penafsiran soal transparansi pemilihan ini memang terjadi karena Pasal 20 ayat 1 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyebutkan tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga, yaitu DPR, pemerintah, dan MA. Masalah muncul karena hingga sekarang belum ada aturan khusus yang menjelaskan ayat itu. Walhasil, setiap lembaga menafsirkan sendiri makna transparansi itu. Kelemahan inilah yang harus diperbaiki. Mesti segera dibuat penjelasan yang gamblang tentang ayat tersebut agar tak timbul simpang-siur penafsiran.
Kini Patrialis sudah telanjur diangkat. Koreksi atas pengangkatannya akan bergantung pada putusan PTUN terhadap gugatan koalisi. Kita berharap PTUN bisa memutuskan dengan obyektif sehingga pengangkatan Patrialis bisa dibatalkan dan pemilihan ulang berlangsung lebih transparan.