Bahasa Tulisan Diprioritaskan

Penulis

Sabtu, 28 Oktober 1978 00:00 WIB

BAHASA, kata orang tua kita, menunjukkan bangsa. Itu tak berarti bahwa orang tua kita sudah memikirkan suatu konsep "nasionalisme", tentang keutuhan bangsa (nation) dengan bahasa. Sebab bila kita terjemahkan dan renungkan kembali, kalimat di atas sebenarnya hanya menunjukkan kecenderungan suatu struktur masyarakat tertentu keinginan untuk menilai klas sosial seseorang dari cara bertutur orang itu. Dengan kata lain, seseorang ditimbang martabat dan latar belakangnya adakah ia bangsawan atau bukan -- dari cara ia menempatkan kata, dari lagu ia mengucapkan kalimat. Hal ini bisa terlihat dengan jelas dalam bahasa Jawa misalnya. Seorang Jawa yang berlagak priyayi, tapi tak tahu di mana ia harus memakai kata sare dan di mana ia harus menggunakan kata tilem (kedua-duanya berarti "tidur"), akan tak diakui sebagai anggota lapisan yang luhur. Setidaknya ia akan dianggap kurang tahu adat. Maka bahasa pun ikut berfungsi sebagai pengontrol tingkah-laku individu. Pak Tani tak bisa akan seenaknya bersikap kepada Pak Bupati, karena sejak awal proses yang berlangsung di kepalanya untuk menyatakan diri, ia sudah harus menempuh jalur yang ditentukan. Memang mentakjubkan bagaimana bahasa itu bisa menjadi semacam alat penggerak dari jauh, dalam suatu mekanisme remote control, bagi individu yang ratusan ribu jumlahnya. Jelas suatu evolusi yang panjang dalam sejarah sosial-politik telah membentuk jaringan semacam itu. Dan sejarah sosial-politik itu pula, dengan segala korban dan pemenangnya, yang telah menciptakan pusat-pusat tertentu -- tempat orang mengukur diri dalam berbahasa dan beradat istiadat. Bahasa Jawa punya bahasa Jawa-Surakarta, bahasa Bugis punya bahasa Bugis-Bone. Bahasa Indonesia, sebaliknya, belum mempunyai suatu centre of excellence yang sedemikian. Begitu ia berkembang dari bahasa Melayu-Riau menjadi bahasa pengantar untuk seluruh Nusantara, dan apalagi setelah ia memencar di zaman Indonesia merdeka, ia "kehilangan" suatu pusat. Mungkin tak ada jeleknya. Bahasa ini dengan demikian menjadi bahasa yang mudah diikuti, memiliki basis pendukung yang semakin luas, dan dengan demikian mempunyai kemungkinan yang semakin kaya. Tak ada ukuran yang jelas mana yang "baik dan sopan" dan mana yang tidak. Ia tak perlu menjadi mahal untuk dipelajari. Namun barangkali, seperti kata ahli bahasa, kita membutuhkan kesamaan dalam lambang-lambang. Kalau tidak bahasa Indonesia bukanlah bahasa persatuan. Kita membutuhkan "pembakuan". Dan dari semangat ini lahirlah ejaan baru, misalnya. Ketika para ahli bahasa berhasil memperkenalkan dan mengharuskan kita memakai ejaan yang diperbaharui, enam tahun yang lalu suatu momentum sebenarnya terbangun. Tak kurang dari Kepala Negara sendiri yang menganjurkan agar kita "berbahasa Indonesia yang baik dan benar" -- apa pun artinya "baik dan benar" itu. Di TVRI muncul pelajaran bahasa Indonesia. Di koran-koran diskusi-diskusi terjadi. Di Jakarta nama-nama toko dan gedung tak boleh menunaikan bahasa asing. Tapi ahli bahasa, dengan segala kecenderungan teknokratisnya, rupanya memang tak. bisa diharapkan menjadi para penggerak masyarakat. Momentum yang terjadi telah terlepas. Kita tak segera memanfaatkannya. Seminar demi seminar selesai, belum juga terdengar jawab ke masyarakat setelah ejaan, apa? Kita bahkan tambah kacau sampai 6 tahun ini: apakah "Sujono" berarti "Suyono" ataukah "Sudjono"? Sementara itu, ketika para ahli bahasa kita sibuk memikirkan bahasa tulisan (ejaan adalah sendi pertamanya), kita pun seperti lupa bahwa sekitar 30% bangsa kita tak mengenal bahasa yang disusun dalam huruf Latin itu. Kita lupa pentingnya bahasa lisan, yang mungkin merupakan bahasa komunikasi 75% atau lebih dalam hidup kita radio, TV, khotbah, pidato di balai desa. Kita lalai barangkali bahwa dengan memprioritaskan bahasa tulisan, kita memprioritaskan satu segi dari bahasa kita yang terbatas. Tapi barangkali bahasa memang menunjukkan bangsa. Dalam arti lain: bahwa apa yang baik dan apa yang terlantar di sana mencerminkan apa yang baik dan apa yang terlantar di antara kita.

Berita terkait

Perlunya Contoh Orang Tua dan Guru dalam Pendidikan Karakter Anak

2 hari lalu

Perlunya Contoh Orang Tua dan Guru dalam Pendidikan Karakter Anak

Psikolog menyebut pendidikan karakter perlu contoh nyata dari orang tua dan guru kepada anak karena beguna dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Selengkapnya

Mayoritas Gaji Dosen di Bawah Rp 3 Juta, SPK: 76 Persen Terpaksa Kerja Sampingan

2 hari lalu

Mayoritas Gaji Dosen di Bawah Rp 3 Juta, SPK: 76 Persen Terpaksa Kerja Sampingan

Hasil riset Serikat Pekerja Kampus: sebagian besar dosen terpaksa kerja sampingan karena gaji dosen masih banyak yang di bawah Rp 3 juta.

Baca Selengkapnya

7 Tahun Berdiri, AMSI Dorong Ekosistem Media Digital yang Sehat

3 hari lalu

7 Tahun Berdiri, AMSI Dorong Ekosistem Media Digital yang Sehat

Selama tujuh tahun terakhir, AMSI telah melahirkan sejumlah inovasi untuk membangun ekosistem media digital yang sehat dan berkualitas di Indonesia.

Baca Selengkapnya

Kisah Ki Hadjar Dewantara Sebelum Jadi Bapak Pendidikan: Wartawan Kritis Musuh Belanda

3 hari lalu

Kisah Ki Hadjar Dewantara Sebelum Jadi Bapak Pendidikan: Wartawan Kritis Musuh Belanda

Sebelum memperjuangkan pendidikan, Ki Hadjar Dewantara adalah wartawan kritis kepada pemerintah kolonial. Ia pun pernah menghajar orang Belanda.

Baca Selengkapnya

Makna Logo Pendidikan Tut Wuri Handayani, Ada Belencong Garuda

3 hari lalu

Makna Logo Pendidikan Tut Wuri Handayani, Ada Belencong Garuda

Makna mendalam dibalik logo pendidikan Indonesia, Tut Wuri Handayani

Baca Selengkapnya

KPK Sebut Dana BOS Paling Banyak Disalahgunakan dengan Modus Penggelembungan Biaya

3 hari lalu

KPK Sebut Dana BOS Paling Banyak Disalahgunakan dengan Modus Penggelembungan Biaya

Modus penyalahgunaan dana BOS terbanyak adalah penggelembungan biaya penggunaan dana, yang mencapai 31 persen.

Baca Selengkapnya

Politikus di Rusia Diguncang Silang Pendapat soal Isu Gay

3 hari lalu

Politikus di Rusia Diguncang Silang Pendapat soal Isu Gay

Alexandr Khinstein menilai politikus yang bertugas di lembaga pendidikan atau anak-anak tak boleh penyuka sesama jenis atau gay.

Baca Selengkapnya

USAID Kerja Sama dengan Unhas, ITB dan Binus

8 hari lalu

USAID Kerja Sama dengan Unhas, ITB dan Binus

Program USAID ini untuk mempertemukan pimpinan universitas, mitra industri, dan pejabat pemerintah

Baca Selengkapnya

Gibran Dorong Program CSR Lebih Banyak Diarahkan ke Sekolah-Sekolah

8 hari lalu

Gibran Dorong Program CSR Lebih Banyak Diarahkan ke Sekolah-Sekolah

Gibran mengatakan para penerima sepatu gratis itu sebagian besar memang penerima program Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta.

Baca Selengkapnya

KPPU: Penegakan Hukum Pinjol Pendidikan Masih Tahap Penyelidikan Awal

8 hari lalu

KPPU: Penegakan Hukum Pinjol Pendidikan Masih Tahap Penyelidikan Awal

Pada Februari 2024, KPPU menyatakan memanggil empat perusahaan pinjol yang berikan pinjaman pendidikan kepada mahasiswa.

Baca Selengkapnya