MADAME de Montgerout termashur tapi hidup dalam masa yang celaka. Dia pianis terkemuka di abad ke 18 di Perancis -- tapi itulah zaman tatkala revolusi sedang berkibar-kibar. Padahal dia bukan "republiken". Dia tak peduli apa dia harus pro para bangsawan dan pendeta atau harus memihak kaum sans-coulottes yang jelata, lalu tunduk pada para pemimpin revolusi yang pintar pidato. Dia cuma peduli pada do-re-mi-fa-sol. Pada suatu hari dia ditahan. Dia dibawa ke depan Komite Keamanan Publik yang berkuasa: sejumlah tuan-tuan yang bisa memutuskan adakah seorang patut dipotong lehernya atau bebas. Tak ayal lagi, para anggota Komite itu segera mengadakan test diagnostik. Madame, kira-kira begitulah kata mereka, mainkanlah lagu revolusioner pada piano itu. Marseillase, s.v.p. Madame de Montgerout dag-dig-dug tapi agak lega dengan ujian ringan ini. Ia pun duduk menghadapi piano di kamar hijau di istana Tuileris itu. Marseillase dimainkannya dengan penuh gairah. Dan rupanya begitu indah. Sebab tibatiba para anggota Komite yang memeriksanya terhanyut, ikut bernyanyi. Madame de Montgerout juga ikut bernyanyi. Konon para sekretaris dan kerani di istana itu pun berhamburan masuk, melihat, terpesona, dan melibatkan suara mereka dalam lagu baris revolusi itu. Ratusan suara mengguruh, menggema, dari setiap bagian Tuileris: Aux armes, citoyens! Formez vos bataillons! Marchons .... Selesai itu, Madame de Montgerout dinyatakan bebas. Seorang ahli sejarah berkatat betapa peristiwa itu menunjukkan bahwa di pusat pemerintahan revolusi Perancis, kerja rutin berkobar oleh suatu keyakinan yang besar. Revolusi semacam yang terjadi di Perancis di abad ke-18 itu agaknya memang memerlukan modal "iman sosial" yang kokoh -- suatu hal yang juga terjadi pada revolusi-revolusi lain. Tanpa itu, bagaimana kaum revolusioner bisa tahan pada kesulitan bahkan kekejaman? Dalam hal revolusi Perancis, "iman sosial" itu datang dari keresahan di lapisan bawah dan filsafat abad ke-18 di kalangan atas. Penindasan mengancam, tapi jalan keluar sudah terang. Kaum intelektuil yang memimpin revolusi Perancis -- seperti yang nampak pada dua belas orang dalam Komite Keamanan Publik adalah makhluk optimis. Zaman itu bisnis cukup meluas selama seabad, Penemuan teknologi baru muncul di tiap sisi. Kemajuan seakan tak terelakkan dan perubahan soal mudah. Manusia punya akal budi, nah, itulah yang akan menyelamatkan sejarahnya. Impian dan "iman" semacam itu menghalalkan kaum revolusioner seperti Robespierre dan Saint-Juste untuk memerintah, bila perlu dengan teror. Dalam hal demikian, revolusi yang berlangsung sesudahnya -- di Rusia serta di Tiongkok misalnya -- merupakan kelanjutan semangat optimisme yang sama. Keyakinan kepada akal budi manusia yang bisa membangun sorga tanpa bimbingan Tuhan agaknya merupakan ciri abad ke-18 yang jelas. Tapi itulah yang mungkin makin sulit bagi abad ke-20 yang mau berakhir. Hasil revolusi Perancis sungguh besar, tapi dicatat bahwa di tahun 1794 orang macam Robespierre dan Saint-Juste ganti dikutuk sebagai "tiran" dan dipotong lehernya. Di tahun 1917 terjadi revolusi Rusia dan di tahun 1949 kaum revolusioner di bawah Mao menang di daratan Cina. Tapi orang selalu ingat bagaimana Stalin dan apa yang terjadi kini pada Mao Tse-tung. Daftar itu bisa diperpanjang: suatu kekecewaan yang memang sialan tapi apa boleh buat. Ketika banyak kemajuan terjadi tapi manusia ternyata begitu-begitu saja, Tuhan pun dipercaya kembali atau manusia lebih rendah hati lalu membaca lelucon Woody Allen. "Setelah sebuah revolusi selesai, si 'tertindas' seringkali ambil alih dan mulai berbuat seperti si 'penindas'. Tentu saja pada saat itu sangat sukar menghubungi mereka lewat telepon, dan uang rokok selama pertarungan biasanya lalu tak bisa ditagih." Tapi adakah di Iran kini orang bisa ketawa, Woody?
Sri Mulyani Temui Wapres, Bahas Mitigasi Dampak Geopolitik Timur Tengah
8 hari lalu
Sri Mulyani Temui Wapres, Bahas Mitigasi Dampak Geopolitik Timur Tengah
Menteri Keuangan Sri Mulyani menemui Wakil Presiden Maruf Amin untuk melaporkan hasil pertemuan IMF-World Bank Spring Meeting dan G20 yang saya hadiri di Washington DC. pekan lalu. Dalam pertemuan itu, Sri Mulyani pun membahas mitigasi dampak geopolitik di Timur Tengah.
Sri Mulyani Beberkan Efek Konflik Timur Tengah ke Indonesia, Mulai dari Lonjakan Harga Minyak hingga Inflasi
11 hari lalu
Sri Mulyani Beberkan Efek Konflik Timur Tengah ke Indonesia, Mulai dari Lonjakan Harga Minyak hingga Inflasi
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan tensi geopolitik di Timur Tengah cenderung meningkat dan menjadi fokus perhatian para pemimpin dunia. Ia menegaskan kondisi ini mempengaruhi beberapa dampak ekonomi secara signifikan.