Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan semakin menunjukkan banyaknya penyimpangan proyek Hambalang. Pembangunan pusat olahraga di Sentul, Jawa Barat, ini tampak dipaksakan. Itu sebabnya, Komisi Pemberantasan Korupsi perlu membongkarnya secara tuntas semua sisi proyek ini.
Dalam audit investigasi tahap II itu, BPK sampai pada kesimpulan: seharusnya proyek Hambalang tak layak dilanjutkan karena berada pada zona tanah yang rapuh. Nyatanya proyek itu terus dijalankan, bahkan anggarannya membengkak menjadi Rp 2,5 triliun. Karena kenekatan sekaligus penyimpangan ini, diperkirakan kerugian negara mencapai Rp 471,7 miliar lebih.
KPK sejauh ini baru menetapkan beberapa tersangka kasus itu. Di antaranya, bekas Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dan anak buahnya, bekas pejabat PT Adhi Karya sebagai kontraktor, serta bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Padahal banyak figur lain yang terlibat dalam patgulipat proyek itu.
Dari hasil audit terbaru tersebut, BPK juga mendapatkan beberapa temuan. Pertama, pencabutan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56/PMK.02/2010 yang diganti dengan PMK Nomor 194/PMK.02/2011 tentang tata cara pengajuan persetujuan kontrak tahun jamak dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam peraturan lama, ada syarat yang mewajibkan adanya rekomendasi pendapat teknis dari menteri teknis dan persetujuan DPR untuk mendapatkan kontrak tahun jamak. Sedangkan peraturan baru itu menghapus persyaratan tersebut.
Kedua, anggota DPR terlibat dalam memuluskan lolosnya anggaran untuk proyek Hambalang. Sejumlah legislator telah menandatangani persetujuan alokasi Anggaran Perubahan 2010 sebesar Rp 600 miliar meskipun belum dibahas dengan Kementerian Olahraga.
Temuan ketiga, PT Dutasari Citralaras, subkontraktor pekerjaan mechanical dan electrical Hambalang, diduga menggangsir duit proyek Hambalang. Nilai proyek yang digarap Dutasari mencapai Rp 324,5 miliar-nilai proyek terbesar dibanding 38 perusahaan subkontraktor Hambalang lainnya.
Keempat, petinggi perusahaan ini diduga memalsukan akta kepemilikan saham. Nama Athiyyah Laila, istri Anas Urbaningrum, yang semula tercantum sebagai komisaris PT Dutasari, tak muncul lagi pada akta 2009. Tapi akta baru ini diduga dipalsukan dan tidak terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM, karena dibuat baru belakangan.
Sederet temuan itu harus segera diusut oleh KPK dan penegak hukum yang lain. Kepolisian, misalnya, perlu mengusut pemalsuan akta. Sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, baik notaris maupun pihak pemesan akta palsu bisa terancam hukuman penjara.
KPK seharusnya segera pula mengusut keterlibatan anggota DPR, pejabat Kementerian Keuangan, juga subkontraktor Hambalang, yang selama ini belum disentuh. Membiarkan kasus ini berlarut-larut justru semakin mempersulit pengusutan karena ada kemungkinan pelaku punya kesempatan untuk menyembunyikan kejahatannya.