Merdeka 100 Persen

Penulis

Senin, 25 Agustus 2014 00:58 WIB

Anton Kurnia
Esais dan Penulis Cerpen

Bangsa yang merdeka, menurut Tan Malaka (1897-1949) dalam risalahnya, Merdeka 100% (1946), adalah bangsa yang sanggup mandiri secara mental, budaya, politik, pertahanan, dan ekonomi; tidak bergantung pada dan dikuasai oleh bangsa lain.

Jika menimbang definisi di atas, apakah kita sebagai bangsa memang telah merdeka dan layak merayakannya dengan gegap-gempita? Begitu meriahnya perayaan itu, sehingga-menurut laporan FITRA, LSM yang kritis terhadap penggunaan APBN-rangkaian pesta peringatan hari ulang tahun kemerdekaan ke-69 Republik Indonesia di Istana Negara menghabiskan dana lebih dari Rp 11 miliar.

Kalau kita menggunakan ukuran Tan Malaka, tak berlebihan jika kita nyatakan bahwa sesungguhnya saat ini kita belum merdeka 100 persen. Mengapa begitu? Walau mungkin secara mental kita sudah bisa melepaskan diri dari karakter pecundang bangsa terjajah dan inferiority complex yang menyertainya, di bidang politik dan pertahanan kita sudah bisa menyatakan diri berdaulat. Secara budaya, kita bahkan bisa berekspansi ke antero lain dan menyumbang secercah cahaya untuk dunia melalui karya seni dan sastra. Tapi, secara ekonomi, kita masih separuh bergantung pada kekuatan kapitalisme dan neokolonialisme asing. Itu terbukti dengan masih dikuasainya sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti minyak bumi dan pertambangan, oleh pihak asing.

Seorang kawan menceritakan kepada saya kisah tentang kaum Mardijkers. Konon, orang-orang "Portugis Hitam", yakni budak-budak dari Afrika (terutama Mozambique dan Angola), India (Goa), dan Malaka yang dibawa kaum kolonial Portugis ke Hindia Belanda pada abad ke-16, saat tentara dagang Portugis kalah perang dari VOC alias Belanda, diberi pilihan oleh penguasa kolonial Belanda di Batavia (kini Jakarta). Pilihan itu: tinggal dan diberi lahan di kawasan Kampung Tugu (kini masuk wilayah Kecamatan Koja, Jakarta Utara) sebagai orang merdeka tapi harus pindah agama menjadi Kristen Protestan seperti orang-orang Belanda, atau tetap memeluk Katolik seperti majikan mereka orang-orang Portugis tapi dibuang ke Nusa Tenggara sebagai budak.

Sebagian dari mereka memilih yang pertama, dan menetap di Kampung Tugu hingga beranak-pinak dan menurunkan beberapa generasi yang kemudian dikenal sebagai orang-orang yang mempopulerkan musik keroncong. Mereka inilah yang disebut kaum Mardijkers, yakni "orang-orang yang dimerdekakan". Walau secara formal mereka dianggap merdeka, bukan lagi budak, pada hakikatnya kaum Mardijkers ini tidak merdeka, bahkan terjajah sampai mati secara mental dan spiritual. Sebab, mereka terpaksa harus berganti keyakinan demi mendapatkan label "merdeka".

Kita tentu tak mau seperti kaum Mardijkers. Secara formal telah merdeka tapi sebagai syarat harus menukar "kemerdekaan" itu dengan menggadaikan kedaulatan ekonomi kita kepada pihak asing. Seperti termaktub dalam risalah Tan Malaka, hendaknya kita bisa merdeka 100 persen demi mewujudkan cita-cita bersama menjamin kesejahteraan, keamanan, dan kedamaian bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika hal itu telah terwujud, barulah kita layak merayakan kemerdekaan kita sebagai bangsa secara gegap-gempita.

Berita terkait

Belajar Sejarah, Ini 7 Rekomendasi Film Kemerdekaan Indonesia

17 Agustus 2022

Belajar Sejarah, Ini 7 Rekomendasi Film Kemerdekaan Indonesia

Belajar sejarah tak melulu dari buku melainkan juga bisa lewat menonton film. Simak ulasannya di sini.

Baca Selengkapnya

Pelurusan Sejarah Ratu Kalinyamat Harus terus Diupayakan

5 Juni 2022

Pelurusan Sejarah Ratu Kalinyamat Harus terus Diupayakan

Menyosialisasikan perjuangan Ratu Kalinyamat lewat pagelaran seni-seni tradisional yang digemari masyarakat, harus terus ditingkatkan.

Baca Selengkapnya

Nasib Laksamana Maeda Usai Dukung Kemerdekaan Indonesia

17 Agustus 2021

Nasib Laksamana Maeda Usai Dukung Kemerdekaan Indonesia

Laksamana Maeda dianggap pengkhianat karena mendukung kemerdekaan Indonesia. Bagaimana nasibnya?

Baca Selengkapnya

BM Diah, Wartawan Penyelamat Naskah Asli Proklamasi

16 Agustus 2021

BM Diah, Wartawan Penyelamat Naskah Asli Proklamasi

BM Diah mengatakan naskah asli teks proklamasi dibuang ke tempat sampah begitu saja usai diketik oleh Sayuti Melik.

Baca Selengkapnya

Askar Perang Sabil, Pasukan Pejuang Kemerdekaan Bentukan Muhammadiyah

16 Agustus 2021

Askar Perang Sabil, Pasukan Pejuang Kemerdekaan Bentukan Muhammadiyah

Ulama Muhammadiyah di Yogyakarta membentuk satuan Askar Perang Sabil (APS) untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia

Baca Selengkapnya

AR Baswedan, Tokoh Keturunan Arab yang Berjuang untuk Kemerdekaan RI

14 Agustus 2021

AR Baswedan, Tokoh Keturunan Arab yang Berjuang untuk Kemerdekaan RI

AR Baswedan merupakan kakek dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan

Baca Selengkapnya

Mengenal Sukarni, Penculik Bung Karno ke Rengasdengklok

5 Agustus 2021

Mengenal Sukarni, Penculik Bung Karno ke Rengasdengklok

Sukarni bersama tokoh pemuda lainnya menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok jelang kemerdekaan Indonesia

Baca Selengkapnya

Kisah Kurir Kemerdekaan Pengirim Kabar Proklamasi 1945

17 Agustus 2017

Kisah Kurir Kemerdekaan Pengirim Kabar Proklamasi 1945

Dua bulan setelah Proklamasi 1945, Kepala Kepolisian Negara Raden Said Soekanto memberi tugas kepada pemuda-pemuda menyebarkan berita proklamasi.

Baca Selengkapnya

Amir Hamzah: Raja Penyair Pujangga Baru yang Mati Tragis

16 Agustus 2017

Amir Hamzah: Raja Penyair Pujangga Baru yang Mati Tragis

Amir Hamzah mempromosikan pentingnya kemerdekaan hingga ke dusun. Dibunuh karena dianggap pengkhianat.

Baca Selengkapnya

Infografis: Drama Menegangkan Seputar Proklamasi 17 Agustus 1945

31 Juli 2017

Infografis: Drama Menegangkan Seputar Proklamasi 17 Agustus 1945

Inilah catatan harian kita seputar Proklamasi 17 Agustus 1945. Ada kisah yang Anda belum tahu?

Baca Selengkapnya