Betapa mudah hukum melilit Benny Handoko. Pemilik akun Twitter @benhan ini berkomentar pedas mengenai kasus M. Misbakhun--bekas politikus Partai Keadilan Sejahtera yang kini berpindah ke Partai Golkar. Gara-gara kicauan ini, Benny ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik dengan ancaman hukuman cukup berat.
Penegak hukum terkesan begitu lihai menyulap masalah sepele menjadi besar. Kicauan lewat Twitter pada akhir tahun lalu itu seakan perkara yang penting sekali sehingga harus diproses. Benny bahkan sempat ditahan di Penjara Cipinang, Jakarta, dan baru dilepas lagi setelah diprotes publik.
Benar, dalam kicauannya, Benny menyebut Misbakhun sebagai perampok Bank Century. Tapi pendapat ini semestinya tidak serta-merta dianggap sebagai pencemaran nama baik. Betapapun pedasnya ucapan seseorang lewat media sosial, seharusnya tetap dikategorikan sebagai ekspresi menyampaikan pendapat.
Misbakhun boleh saja merasa dicemarkan namanya. Kendati pernah didakwa memalsukan dokumen pencairan L/C Bank Century dan divonis 2 tahun penjara, belakangan ia dinyatakan tak bersalah oleh Mahkamah Agung lewat peninjauan kembali.
Hanya, polisi dan jaksa tidak perlu memprosesnya bila pengaduan Misbakhun itu berlebihan. Apalagi, Benny dituduh melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang sejak awal kelahirannya kontroversial karena memuat banyak "pasal karet" yang cenderung membungkam kebebasan berpendapat.
Benny dijerat dengan Pasal 3 ayat 1 undang-undang tersebut, aturan yang juga gampang disalahgunakan. Ayat ini mengatur soal setiap orang yang secara sengaja dan tanpa hak mendistribusikan informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Pelakunya diancam hukuman maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda Rp 1 miliar.
Tak ada kriteria jelas mengenai muatan yang dianggap sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik itu. Semua bergantung pada perasaan subyektif si pengadu. Tapi, dengan adanya unsur "tanpa hak" dalam ayat itu, seharusnya pula Benny tidak dijadikan tersangka. Soalnya, konstitusi justru menjamin hak Benny untuk berpendapat secara lisan maupun tulisan.
Penegak hukum juga perlu menempatkan kicauan Benny dalam konteksnya. Apakah ia sengaja ingin menghina orang, atau sekadar mengeskpresikan pendapat? Jangan-jangan kicauan itu hanya sebagai luapan kekesalan terhadap lemahnya penanganan kasus korupsi di negeri ini. Kalau kekecewaan seperti itu, bukan hanya Benny yang merasakan, melainkan hampir semua pengguna media sosial, bahkan khalayak ramai.
Langkah penegak hukum yang terburu-buru memproses kasus Benny justru akan menambah kekecewaan publik. Polisi dan jaksa seharusnya berupaya membongkar kasus korupsi yang besar, seperti yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi bukannya menjerat orang yang bersikap antikorupsi.