Arah (Lembaga) Kebudayaan Kita

Penulis

Kamis, 28 Agustus 2014 01:19 WIB

Sugih Biantoro
Peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Setelah melewati pembelajaran demokrasi pada pemilu 2014, pasangan Jokowi-JK akhirnya terpilih menjadi pemegang tongkat estafet kepemimpinan Presiden SBY. Salah satu yang menjadi sorotan penulis adalah opsi tim transisi menyangkut usul tentang kementerian tambahan. Kementerian Pendidikan akan dipisah menjadi dua: Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset Teknologi.

Opsi tersebut menjelaskan bahwa Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah akan mengurusi pembangunan karakter, budi pekerti, nilai, norma, dan budaya bangsa. Kita bisa melihat sebetulnya ada distorsi kebudayaan di sana. Karakter dan nilai memang penting, tapi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah akan membuat kita tahu akan ke mana arah kebudayaan ditempatkan. Kebudayaan akan selalu diarahkan sebagai bahan perumusan berbagai instrumen pendidikan.

Sayangnya, pemerintah belum banyak melirik pendidikan yang bersifat informal, yang penuh dengan muatan budaya. Presiden terpilih pun, sampai tulisan ini dibuat, belum menanggapi opsi yang ditawarkan deputi rumah transisi. Bisa saja usul itu ditolak atau diterima. Namun di sinilah kiranya "pengawalan" terhadap penempatan kebudayaan dalam struktur kelembagaan perlu dilakukan.

Apakah kebudayaan baik-baik saja di negeri ini? Kongres Kebudayaan yang terus berjalan hingga saat ini tampaknya dapat menjawab pertanyaan tersebut. Kebudayaan di Indonesia memerlukan arah yang jelas. Namun hal itu sulit tercapai apabila produk hukumnya saja sampai sekarang belum ada. Saat ini, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan sedang dalam proses-mungkin revisi substansi atau teknis-untuk segara ditindaklanjuti menjadi undang-undang. Sekian lama proses itu berlangsung, hasilnya tak kunjung ada. Saat ini, kita memang sudah memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, tapi aturan tersebut hanya mengurusi kebudayaan benda (tangible heritage) dan belum menyentuh aspek-aspek non-benda (intangible heritage).

Perhatian terhadap kebudayaan benda memang lebih melekat dalam kebijakan hukum pemerintah selama ini. Dapat saja itu terjadi karena kita tidak cukup kreatif untuk mengubah secara total aturan kolonial Belanda bernama Monumenten Ordonantie 1934, yang mengatur soal peninggalan-peninggalan budaya (monumen), sehingga kita hanya bisa "mengindonesiakan" aturan kolonial tersebut tanpa banyak mengubahnya, sehingga kemudian dihasilkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Kita bisa bayangkan, kurang-lebih 58 tahun kita masih berpatokan pada aturan kolonial. UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya merupakan perbaikan dari kekurangan-kekurangan yang terdapat pada UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Memang, ada sejumlah perbaikan substansial, tapi tetap saja masih berfokus pada kebudayaan benda.

Bukan berarti tangible heritage tidak dianggap penting. Presiden SBY, dalam beberapa kesempatan, mampu menempatkan situs-situs sejarah dan purbakala sebagai warisan yang penting bagi bangsa Indonesia. Itu dapat terlihat dalam kunjungannya ke kawasan cagar budaya Trowulan atau situs Gunung Padang. Bukan hanya kebanggaan atas kemegahan situs-situs tersebut, nilai sejarah peradaban juga penting guna membentuk identitas bangsa ini sehingga mampu melepaskan diri dari ikatan yang berbau kolonial. Konstruksi peninggalan sejarah dan purbakala seperti itu juga pernah dilakukan pada zaman Orde Lama dan Orde Baru. Artinya, urgensi kebudayaan perlu memperhatikan wujudnya, baik dalam bentuk tangible maupun intangible.

Definisi kebudayaan yang luas tentu tidak dapat digeneralisasi. Namun memaknai kebudayaan dengan tidak mengkotak-kotakkan antara yang satu dengan yang lainnya tentu diperlukan untuk menentukan arah pengembangan ke depan, misalnya dalam lingkup kelembagaan.

Sudah saatnya Jokowi dan jajaran pemerintahnya mampu memayungi dua wujud kebudayaan tersebut secara beriringan. Ini juga menyangkut konsep revolusi mental yang sering didengungkan Jokowi selama masa kampanye. Penulis yakin bahwa revolusi mental tersebut akan terwujud jika kita mampu memanfaatkan unsur-unsur kebudayaan secara baik.

Setidaknya, awal perhatian Jokowi pada masa-masa transisi ini adalah mempertimbangkan pembentukan struktur kelembagaan yang fokus dan jelas bertanggung jawab untuk mengurus persoalan kebudayaan bangsa ini. Tidak harus berdiri sendiri, menjadi "anak tiri" dari kementerian lain pun bisa saja. Setidaknya itu 'kebudayaan' tetap ada sebagai nomenklatur salah satu lembaga atau kementerian di negeri ini. Wadah itu bukan akhir, melainkan tahap awal untuk memberi kesempatan bagi semua stakeholder dalam menciptakan terobosan-terobosan baru, baik dalam pemenuhan kebutuhan di ranah aturan, substansi, maupun pemanfaatan kebudayaan bagi masyarakat luas. *

Berita terkait

Universitas Brawijaya Akan Buka Rumah Budaya Indonesia di Tianjin Cina

9 hari lalu

Universitas Brawijaya Akan Buka Rumah Budaya Indonesia di Tianjin Cina

Universitas Brawijaya akan membuka Rumah Budaya Indonesia di Tianjin, China untuk mendorong pengenalan bahasa

Baca Selengkapnya

Sejarah Panjang Kebaya dan Perlunya Jadi Identitas Budaya Indonesia

12 hari lalu

Sejarah Panjang Kebaya dan Perlunya Jadi Identitas Budaya Indonesia

Pakar mengatakan kebaya bisa menjadi identitas budaya Indonesia berbasis kelokalan dengan sejarah panjang busana di Nusantara.

Baca Selengkapnya

Mahasiswa STIP Jakarta Meninggal Dianiaya Senior, Mengapa Budaya Kekerasan di Kampus Terus Terulang?

12 hari lalu

Mahasiswa STIP Jakarta Meninggal Dianiaya Senior, Mengapa Budaya Kekerasan di Kampus Terus Terulang?

Seorang mahasiswa STIP Jakarta meninggal setelah dianiaya oleh seniornya. Lalu, mengapa budaya kekerasan itu terus terulang?

Baca Selengkapnya

Cara Perpustakaan Pikat Pembaca Muda

14 hari lalu

Cara Perpustakaan Pikat Pembaca Muda

Sejumlah perpustakaan asing milik kedutaan besar negara sahabat di Jakarta berbenah untuk menarik lebih banyak anak muda, khususnya generasi Z.

Baca Selengkapnya

Bamsoet Dukung Rencana Touring Kebudayaan

26 hari lalu

Bamsoet Dukung Rencana Touring Kebudayaan

Bamsoet mendukung rencana touring kebudayaan bertajuk "Borobudur to Berlin. Global Cultural Journey: Spreading Tolerance and Peace".

Baca Selengkapnya

Ingin Jadi Pusat Seni dan Budaya, Hong Kong Dirikan Museum Sastra

30 hari lalu

Ingin Jadi Pusat Seni dan Budaya, Hong Kong Dirikan Museum Sastra

Museum Sasta Hong Kong akan dibuka pada Juni

Baca Selengkapnya

Indonesia dan Jerman Sepakat Tingkatkan Kerja Sama Budaya

15 Maret 2024

Indonesia dan Jerman Sepakat Tingkatkan Kerja Sama Budaya

Indonesia dan Jerman menandatangani Pernyataan Kehendak Bersama untuk meningkatkan dan mempromosikan hubungan budaya kedua negara.

Baca Selengkapnya

3 Tradisi Unik Jelang Ramadan di Semarang dan Yogyakarta

8 Maret 2024

3 Tradisi Unik Jelang Ramadan di Semarang dan Yogyakarta

Menjelang Ramadan, masyarakat di sejumlah daerah kerap melakukan berbagai tradisi unik.

Baca Selengkapnya

Terkini: Anies dan Ganjar Kompak Sindir Politisasi Bansos di Depan Prabowo, Ide BUMN Jadi Koperasi Pengamat Sebut Pernyataannya Dipelintir

5 Februari 2024

Terkini: Anies dan Ganjar Kompak Sindir Politisasi Bansos di Depan Prabowo, Ide BUMN Jadi Koperasi Pengamat Sebut Pernyataannya Dipelintir

Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan kompak menyindir politisasi bantuan sosial atau Bansos di depan Prabowo Subianto dalam debat Capres terakhir.

Baca Selengkapnya

Prabowo Janjikan Dana Abadi Budaya, RI Sudah Punya Anggaran Rp 2 Triliun di APBN

5 Februari 2024

Prabowo Janjikan Dana Abadi Budaya, RI Sudah Punya Anggaran Rp 2 Triliun di APBN

Segini besar anggaran dana abadi budaya yang sudah dikantongi Kementerian Keuangan sebelumnya.

Baca Selengkapnya