Skandal Ahmad Fathanah mengungkap praktek yang selama ini hanya menjadi bahan gunjingan: mahar politik dalam pencalonan kepala daerah. Tak hanya membuat politik berbiaya tinggi, kebiasaan buruk ini juga merusak kaderisasi.
Terdakwa suap impor daging sapi itu ikut mengatur pencalonan Ilham Arief Sirajuddin melalui Partai Keadilan Sejahtera dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan pada awal tahun ini. Dalam pengadilan, Wali Kota Makassar itu mengaku dimintai Rp 10 miliar, tapi hanya sanggup memberi Rp 8 miliar, yang dicicil dua kali melalui Fathanah. Setelah membayar angsuran kedua, barulah ia memperoleh surat dukungan yang diteken Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq.
Dalam dokumen persidangan terungkap, Fathanah juga menjajakan rekomendasi dalam pemilihan kepala daerah lain. Perlu diingat, mantan politikus PKS, Yusuf Supendi, pernah pula mengungkapkan penarikan mahar oleh petinggi PKS dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2007.
Praktek seperti itu bukan khas PKS. Dalam kesaksian Ilham, kutipan serupa dilakukan pula oleh partai lain. Figur dari Partai Demokrat ini menyetor Rp 2,5 miliar untuk Partai Hati Nurani Rakyat. Ilham tak mempunyai pilihan lain karena suara Partai Demokrat belum cukup untuk memperoleh tiket pencalonan gubernur.
Khalayak tentu mempertanyakan dari mana duit untuk mahar politik itu: apakah uang pribadi, dana partai, atau fulus dari sponsor. Komisi Pemberantasan Korupsi sepatutnya menyelidiki soal ini. Tuduhan pencucian uang yang juga didakwakan terhadap Fathanah memungkinkan penelusuran asal-usul semua fulus yang diterimanya.
Politik berbiaya mahal ini harus dihentikan karena merusak demokrasi. Pungutan mahar akan menutup peluang terpilihnya pemimpin daerah berkualitas tapi tidak memiliki dukungan finansial kuat. Setoran pencalonan justru akan terus membuka pintu lebar-lebar untuk tokoh korup atau politikus tak bermutu yang memiliki bejibun dana. Kelak, calon terpilih hampir dapat dipastikan akan berusaha mengembalikan modal yang telah dikeluarkan ketika menjabat.
Partai-partai perlu didorong untuk mengajukan kader mereka yang berkualitas dan, kalau memungkinkan, populer. Para kandidat tidak perlu menyetor mahar ke pimpinan partai. Harus diakui, dalam pemilihan di beberapa daerah akhir-akhir ini, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berhasil melakukan hal itu, misalnya di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Hasilnya, popularitas partai ini terkerek naik menurut sejumlah hasil survei.
Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah seharusnya segera menyetop pungutan mahar politik. Caranya, antara lain, dengan menetapkan sanksi berat dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Pemilu. Misalnya, calon yang terbukti memberikan mahar untuk memperoleh dukungan partai harus didiskualifikasi dari pemilihan. Tanpa perubahan aturan main, calo politik, seperti Fathanah, akan terus bergerilya menjajakan dukungan partai.