Cukuplah euforia kemenangan tim sepak bola Indonesia usia di bawah 19 tahun pada final Piala AFF. Harus disadari, gelar juara itu hanyalah sebuah langkah kecil untuk membangkitkan prestasi sepak bola. Pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) ataupun para pemain semestinya tak mabuk kemenangan.
Keberhasilan tim U-19 Indonesia menaklukkan Vietnam dengan skor 7-6 lewat adu penalti di Stadion Delta, Sidoarjo, Ahad lalu, telah melahirkan antusiasme di lapangan hijau. Penonton begitu membeludak memadati stadion setiap kali Evan Dimas dan kawan-kawan bertanding. Dukungan kepada mereka juga ramai di situs Facebook dan Twitter.
Ada yang berusaha menjelaskan, masyarakat Indonesia sangat haus gelar. Di level usia 19 tahun, Indonesia sudah menunggu 22 tahun untuk menjuarai gelar sepak bola tertinggi di ASEAN itu. Di level senior, sejak 1996 Indonesia juga tak pernah juara. Bahkan peringkat sepak bola Indonesia versi FIFA jeblok ke peringkat ke-170. Kalah oleh Thailand (peringkat ke-139), Filipina (141), Singapura (159), Malaysia (161), dan Myanmar (162).
Kesuksesan pemain-pemain muda ini boleh saja meningkatkan gairah baru terhadap sepak bola. Namun kemenangan itu bukanlah jaminan masa depan sepak bola Indonesia bakal mengkilap. Ada banyak faktor yang bisa menjegal mereka. Keseriusan klub, pengurus sepak bola, serta kompetisi yang sehat sangat berpengaruh pada mereka.
Dulu, pada era 1994-1995, Indonesia juga punya tim belia yang hebat, yakni Primavera. Beberapa pemain muda, seperti Bima Sakti dan Kurniawan, berlatih hingga ke Italia. Selama masa pelatihan di sana, Kurniawan bahkan sempat menjadi top scorer nomor dua mengalahkan legenda pemain bola Italia, Del Piero. Seusai pelatihan, Kurniawan masuk tim senior dan klub profesional. Tapi prestasi Kurniawan makin lama justru melorot. Sebaliknya, Del Piero makin moncer dengan klubnya, Juventus.
Pengurus PSSI seharusnya belajar dari kasus Primavera. Jangan biarkan pemain Garuda muda kita layu sebelum berkembang. Mereka awalnya hebat. Setelah masuk klub, menjadi terkenal, mendapat bayaran, gaya hidup pun berubah. Mereka lebih sibuk menjadi bintang iklan atau selebritas ketimbang serius berlatih bola. Klub-klub di Indonesia, karena dikelola secara amatir, gagal memoles bakat pemain. Walhasil, prestasi mereka pun terjun bebas. Ujung-ujungnya, baik klub maupun PSSI sama-sama rugi.
Lingkaran setan itulah yang mesti diputus. PSSI harus ikut membenahi klub. Soal pendanaan, yang selama ini bergantung pada APBD, semestinya bukan persoalan besar. Toh, kita melihat ada sejumlah badan usaha milik negara yang berani membayar sekitar Rp 30 miliar untuk menjadi sponsor, mendatangkan klub Inggris, seperti Liverpool atau Chelsea.
Dengan sokongan penuh BUMN, klub-klub itu bisa berburu pemain berbakat sejak mereka di bangku SD atau SMP. Persis seperti yang dilakukan Barcelona, Arsenal, dan Manchester United. Dengan cara itu, boleh jadi mutu sepak bola kita bisa kembali meningkat. Dengan dana corporate social responsibility, siapa tahu pemain belia kita bisa berbicara di kancah Asia. (*)