Sungguh aneh sikap pemerintah soal Syiah Sampang. Saat puluhan warga Sampang berupaya mengakhiri konflik dengan jemaah Syiah di sana, pemerintah malah memilih membisu. Tak ada secuil pun dukungan yang diberikan pemerintah untuk menjaga dan melanggengkan deklarasi damai itu.
Publik heran atas "aksi bisu" pemerintah itu. Tak ada pejabat yang berkomentar ataupun mendukung penandatanganan deklarasi damai yang terjadi Senin lalu tersebut. Saat warga Sampang berbondong-bondong menyalami jemaah Syiah yang mengungsi di Sidoarjo, lalu meneken perjanjian perdamaian, para pejabat Jawa Timur maupun Sampang entah berada di mana. Padahal perjanjian ini sangat penting. Isinya, warga Sampang mengajak jemaah Syiah kembali ke kampung halaman dan hidup bertetangga secara damai.
Sejak awal, pemerintah dan penegak hukum telah salah langkah dalam menangani konflik di Sampang. Misalnya, mereka justru mengirim pemimpin Syiah Sampang, Ali Murtadlo alias Ustad Tajul Muluk, ke hotel prodeo dengan dalih melanggar pasal penistaan agama. Dia dipenjara selama dua tahun. Padahal dia dan kelompoknya justru korban yang diserang.
Keadaan itu makin runyam dengan adanya aneka gagasan nyeleneh para pejabat kita. Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Timur Pradopo, contohnya, mengusulkan: untuk meredakan konflik itu, warga Syiah direlokasi dari kampung mereka sendiri, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang. Itu jelas membuat warga Syiah Sampang dua kali tertimpa petaka. Mereka sudah teraniaya, sekitar 50 rumah dibakar, bahkan dua orang meninggal saat kampung mereka diserang pada 29 Agustus tahun lalu. Kini, mereka harus terusir dari kampung sendiri.
Minimnya perhatian pemerintah terhadap warga Syiah Sampang ini benar-benar membuat publik kecewa. Tim rekonsiliasi warga Syiah yang dibentuk oleh Menteri Agama Suryadharma Ali bersama Pemerintah Provinsi Jawa Timur tak punya kesungguhan untuk mendamaikan warga Sampang.
Contohnya, mereka mengusulkan rekonsiliasi, warga Syiah boleh pulang dari pengungsian. Tapi, syaratnya, warga Syiah harus bertobat. Syarat ini ditolak oleh masyarakat Syiah. Warga Syiah punya dasar hukum untuk menolaknya, yakni Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, yang jelas menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu.
Kini, jalan damai sudah dibentangkan oleh masyarakat akar rumput Sampang sendiri. Seharusnya Tim Rekonsiliasi bertindak cepat melanggengkan upaya damai ini. Mereka harus segera memfasilitasi kepulangan warga Syiah. Bangun kembali rumah mereka. Yang lebih penting lagi adalah meluaskan gaung perdamaian dengan mengajak duduk bersama tokoh agama dan masyarakat di sana. Selain itu, menempatkan polisi penjaga kedamaian untuk sementara waktu. Cara ini, di sejumlah tempat seperti Maluku, terbukti manjur untuk meredakan konflik. (*)