RAUL Manglapus kini hidup dalam pengasingan. Bekas senator dan intelektuil tenar dari Pilipina itu menghindari ancaman Marcos kepada dirinya. Sebab ia meletakkan diri berhadapan dengan Presiden yang di tahun 1972 mengumumkan "keadaan perang" itu. Bagi Manglapus, ia tegak buat demokrasi. Bagi Manglapus, Marcos mewakili kekuasaan kasar anti-demokrasi. Tidak mengherankan bila ia begitu gundah ketika 11 Juli 1977 yang lalu seorang cendekiawan terkemuka Amerika Serikat, George F. Kennan, berbicara bahwa demokrasi bukanlah "keadaan kodrati dari sebagian besar umat manusia". Kennan agaknya tengah meragukan niat Presiden Carter untuk mengisi diplomasinya ke seantero dunia dengan cita-cita -- atau "khotbah moral"? -- tentang hak-hak azasi manusia. Kennan menentang demokrasi dijadikan tujuan diplomasi itu. Ia memperingatkan agar orang Amerika tidak "memaksakan nilai-nilai, tradisi dan kebiasaan berfikir mereka kepada orang-orang yang tak merasa hal-hal itu absah dan berfaedah." Ini nasihat yang berniat baik, kata Manglapus. Tapi bagi Manglapus kata-kata Kennan toh memperlihatkan "the color of condescension" -- sikap meletakkan diri lebih tinggi dalam memandang orang lain. Maka intelektuil Pilipina ini pun mengutip seorang petani India dalam pemilu yang baru lalu di bulan Maret: "Hanya karena saya miskin dan tak bisa membaca, tidak berarti saya tak peduli akan hak hak azasi manusia." Dalam studi yang dilakukan belakangan ini, kata Manglapus pula sambil menunjuk kepada hasil penelitian Lloyd dan Susan Randolph di India, musyawarah tingkat desa dan hukum adat cukup penting dalam membangun demokrasi di negeri itu. Manglapus menunjukkan pula latar belakang budaya wilayah dari mana ia berasal -- yakni Asia Tenggara. Ia berbicara tentang adat yang memungkinkan musyawarah, yang baginya berarti "diskusi bebas". Dan tak lupa dalam tulisan untuk Washington Post itu Manglapus menyebut istilah gotong royong. Satu ironi terasa di sini - atau Manglapus mungkin tak jujur berargumentasi. Sebab istilah musyawarah dan gotong royong lebih sering dipakai di negeri tempat asalnya justru untuk menunjukkan kelirunya "demokrasi" dalam tipe yang kurang lebih diyakini Manglapus. Seandainya George F. Kennan seorang pejabat Indonesia dari zaman Bung Karno hingga kini .... ia akan menjawab Manglapus dengan tepat! Apalagi nampaknya benar bahwa demokrasi bukanlah "keadaan kodrati" -- sesuatu yang terbawa secara alamiah -- bagi banyak rakyat di dunia kini. Apalagi cukup bisa meyakinkan bahwa kesadaran akan hak-hak azasi manusia pertamatama bukanlah kesadaran jutaan massa, melainkan kesadaran dari, untuk memakai kata-kata Kennan, "kaum intelektuil yang resah." Maka secara moral memang meragukan, jika suatu negeri datang kepada negeri lain dengan sikap lebih tahu tentang kebenaran --sementara orang masih bisa menunjukkan bukti tentang nisbinya nilai-nilai. Satu kritik utama yang bisa diajukan ke depan "diplomasi hak-hak azasi" Carter ialah bahwa langkah itu telah menjadikan hak-hak azasi manusia satu bagian dari kekuatan yang besar. Sekiranya pun ia benar dan adil. Sebab bila yang benar dan yang adil kebetulan berada di pihak yang kuat, yang punya senjata nuklir dan hegemoni ekonomi, -- tidakkah kita cenderung cemas lagi tentang "polisi dunia" dan imperialisme nilai-nilai? Dalam satu hal tentu Kennan benar. Tapi dalam hal lain agaknya ia pun, seperti Manglapus, bisa silap. Sebab nilai-nilai bisa berubah. Inggeris dan Amerika Serikat tak hanya melahirkan demokrasinya dari nilai-nilai yang ada, tapi juga (dan mungkin terutama) dari pengingkaran terhadap nilai-nilai itu. Orang Inggeris memancung rajanya terlebih dulu dan kemudian Thomas Jefferson menulis Deklarasi Kemerdekaan. Perancis yang demokratis dan Rusia yang sosialistis lahir dari yang dulu mungkin dianggap kekal. Mustahilkah? Sejarah tak terdiri dari kurun demi kurun, angkatan demi angkatan yang terpisah-pisah. Sejarah adalah persambungan, yang juga berarti perubahan.
Berita terkait
Fakta-Fakta Bambang Hartono Pemilik Como 1907, Pernah Jadi Atlet Indonesia Tertua
19 menit lalu
Fakta-Fakta Bambang Hartono Pemilik Como 1907, Pernah Jadi Atlet Indonesia Tertua
Bambang Hartono Pemilik Como 1907 adalah seorang atlet bridge. Ia menjadi atlet tertua kontingen Indonesia untuk Asian Games 2018 di usia 78 tahun.