Perampingan Kabinet

Penulis

Rabu, 3 September 2014 01:47 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Ali Rif'an, Peneliti Poltracking

Tidak lama lagi, tepatnya 20 Oktober nanti, pasangan presiden dan wakil presiden Jokowi-Jusuf Kalla akan diambil sumpahnya untuk menjadi nakhoda baru bagi kapal besar bernama Indonesia. Pekerjaan pokok Jokowi-JK menjelang pelantikan itu tentunya adalah penyusunan kabinet. Tak pelak, rencana Jokowi akan merampingkan kabinet pun terus menggelinding, bahkan menuai pro dan kontra.

Bukan hanya partai penyokong koalisi yang berbeda pandangan, tapi antara Jokowi dan JK juga sedikit berbeda. Tim Jokowi, misalnya, mengusulkan postur dan formasi kabinet yang saat ini 34 kementerian menjadi hanya 27 atau bahkan 24 kementerian saja. Sedangkan JK memandang tak perlu ada perubahan yang terlalu besar. Restrukturisasi besar memerlukan waktu lama, sehingga akan mengganggu roda pemerintahan (Tempo, 29/8).

Beda pandangan terkait dengan formasi kabinet merupakan hal yang lumrah. Namun, menurut saya, jika Jokowi mampu merampingkan kabinet, hal itu akan menjadi tradisi baru dalam peta penyusunan kabinet seusai reformasi. Sebab, satu hal yang tak pernah berubah dalam riuh rendah pergantian kabinet adalah formasinya yang selalu gemuk-atau dalam bahasa saya mengalami "obesitas". Jumlah menteri selalu lebih dari 30.

Misalnya, pada Kabinet Persatuan Nasional Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), jumlah menteri ada 34 orang. Sedangkan pada Kabinet Gotong Royong Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), jumlahnya terdiri atas 30 menteri.Kabinet Indonesia Bersatu I Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terdiri atas 34 menteri. Begitu pula Kabinet Indonesia Bersatu II era SBY, yang juga 34 menteri. Bukan hanya itu, obesitas tersebut juga menjalar pada birokrasi dengan semakin banyaknya jumlah pejabat eselon satu di setiap kementerian. Bahkan pada pemerintahan SBY periode kedua ini, ditambahkan wakil menteri yang bertugas membantu kinerja menteri.

Pada dasarnya, tak ada yang salah dengan formasi kabinet gemuk. Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara disebutkan bahwa jumlah kementerian bisa mencapai 34. Begitu pula seorang presiden memiliki kewenangan menunjuk wakil menteri. Namun, untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien, perampingan kabinet lebih banyak maslahatnya.

Pertama, perampingan kabinet dapat menghemat anggaran belanja negara. Dengan begitu, dapat dialihfungsikan pada hal-hal penting lainnya, seperti subsidi BBM, biaya pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Kedua, semenjak otonomi daerah, watak pemerintahan pusat tidak lagi sentralistik. Ada kepala daerah yang berperan penting dalam membangun daerah masing-masing. Pada titik inilah, tugas-tugas dari kementerian pusat sudah banyak terbantu dengan adanya peran kepala daerah yang semakin kuat otoritasnya.

Ketiga, gemuknya formasi kabinet tidak menjamin kinerjanya membaik. Justru kabinet obesitas, selain menjadi beban APBN, dapat merepotkan presiden. Lihat saja bagaimana repotnya Presiden SBY ketika para pembantunya ada yang tersangkut korupsi. Sudah mendapat malu, SBY juga harus "mengernyitkan kening" untuk mencari penggantinya. Bahkan berdasarkan hasil survei Poltracking 2013, meski dengan postur kabinet yang gemuk, kinerja pemerintahan SBY-Boediono masih jauh dari harapan masyarakat. Sebab, hanya 40,5 persen masyarakat yang menyatakan puas atas kinerja pemerintahan SBY-Boediono. Sedangkan 51,5 persen lainnya menyatakan tidak puas dengan rincian 41,5 persen merasa kurang puas dan 10 persen sangat tidak puas. Sisanya, 8 persen, menyatakan tidak tahu.

Karena itu, Jokowi tidak perlu ragu-ragu merampingkan kabinet jika hal itu positif untuk penyegaran pemerintahan. Sebab, buat apa membuat kabinet dengan postur gemuk jika kinerjanya justru ramping? Hal tersebut malah sia-sia belaka. Menilik negara maju, seperti Amerika Serikat, jumlah kementeriannya hanya 15. Begitu pula di Jepang dan Korea Selatan, hanya 15.

Sebagai pemimpin tertinggi yang memiliki hak prerogatif, Jokowi semestinya menggunakan pengaruhnya untuk merampingkan kabinet jika itu dipandang sangat perlu. Hal itu, sebagaimana dikatakan Steven Lukes (1974), menunjukkan bahwa inti dari kekuasaan adalah pengaruh. Perampingan kabinet pada awal pemerintahan menjadi hal yang realistis untuk dilakukan. Sebab, ketika perampingan dilakukan di pertengahan, hal itu akan mendatangkan banyak resistansi, selain mengganggu jalannya pemerintahan.

Akhir kata, bandul kabinet saat ini ada di tangan Jokowi, apakah akan diubah menjadi ramping ataukah tetap mengalami obesitas?


Berita terkait

Unggah Foto Bareng Susi Pudjiastuti, Jonan: We Will Do More

27 Oktober 2019

Unggah Foto Bareng Susi Pudjiastuti, Jonan: We Will Do More

Mantan Menteri ESDM, Ignasius Jonan, mengunggah potret hitam-putih berisi kenang-kenangan bersama bekas koleganya, Susi Pudjiastuti.

Baca Selengkapnya

5 Fakta Unik Perpisahan Kabinet Kerja Jokowi Jilid I

19 Oktober 2019

5 Fakta Unik Perpisahan Kabinet Kerja Jokowi Jilid I

Presiden Joko Widodo atau Jokowi mennggelar acara silaturahmi bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla dan menteri Kabinet Kerja Jokowi di Istana Negara.

Baca Selengkapnya

Menteri M. Nasir Mengaku Sudah Siapkan Landasan untuk Ristekdikti

18 Oktober 2019

Menteri M. Nasir Mengaku Sudah Siapkan Landasan untuk Ristekdikti

Nasir juga mendorong agar badan riset dan inovasi nasional segera dibentuk di pemerintahan Jokowi mendatang.

Baca Selengkapnya

Kabinet Kerja Bubar, Budi Karya Kemas Barang dari Rumah Dinas

18 Oktober 2019

Kabinet Kerja Bubar, Budi Karya Kemas Barang dari Rumah Dinas

Sejumlah menteri mulai mengemas barangnya dari rumah dinas, termasuk Budi Karya.

Baca Selengkapnya

Perpisahan Kabinet Kerja, Jokowi Sebut Setiap Hari Adalah Spesial

18 Oktober 2019

Perpisahan Kabinet Kerja, Jokowi Sebut Setiap Hari Adalah Spesial

Jokowi menyatakan setiap hari adalah hari yang spesial dalam kabinet kerja jilid I.

Baca Selengkapnya

Hanif Dhakiri: Kabinet Kerja Solid Percepat Pembenahan Masalah

18 Oktober 2019

Hanif Dhakiri: Kabinet Kerja Solid Percepat Pembenahan Masalah

Hanif mengungkap tantangan sejumlah isu ketenagakerjaan mendatang yakni ekosistem ketenagakerjaan perlu ditransformasi menjadi lebih fleksibel.

Baca Selengkapnya

Presiden Jokowi: Setiap Momen Adalah Spesial, Spesial Pusing

18 Oktober 2019

Presiden Jokowi: Setiap Momen Adalah Spesial, Spesial Pusing

Silaturahmi tersebut dimulai dengan Shalat Jumat bersama, foto bersama, dan dilanjutkan dengan makan siang bersama.

Baca Selengkapnya

Jokowi Akui Baru Kali Ini Bisa Bersantai Bersama Para Menterinya

18 Oktober 2019

Jokowi Akui Baru Kali Ini Bisa Bersantai Bersama Para Menterinya

Sejumlah menteri menampilkan kebolehannya dalam bernyanyi termasuk di antaranya Mendikbud Muhadjir Effendy yang menyanyikan lagu Stuck on You dan Yell

Baca Selengkapnya

Akbar Tandjung Bocorkan Calon Kabinet Jokowi Jilid II

15 Oktober 2019

Akbar Tandjung Bocorkan Calon Kabinet Jokowi Jilid II

Akbar Tandjung mengatakan calon menteri dari partai hanya sedikit dalam komposisi Kabinet Jokowi Jilid II.

Baca Selengkapnya

Jokowi Mengenang Arahannya Saat Sidang Kabinet Paripurna

3 Oktober 2019

Jokowi Mengenang Arahannya Saat Sidang Kabinet Paripurna

Jokowi dalam sidang kabinet paripurna terakhirnya bersama Jusuf Kalla mengucapkan terimakasih kepada para menteri dan pimpinan lembaga.

Baca Selengkapnya