Amerika tak henti-hentinya menebar ancaman bagi perekonomian Indonesia. Setelah bahaya dari kebijakan moneter berlalu, kini muncul persoalan baru. Sejak Selasa lalu, pemerintah Amerika mati suri (shutdown) karena rancangan anggarannya ditolak Kongres. Kegiatan pemerintahan praktis berhenti karena tak ada lagi anggaran. Presiden Barack Obama pun membatalkan kedatangannya ke Bali untuk menghadiri KTT APEC.
Bukan hanya Obama yang pusing. Penghentian sementara kegiatan pemerintah ini bisa berdampak besar terhadap negara lain, termasuk Indonesia. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo sudah menghitung, jika penghentian kegiatan pemerintahan ini berlangsung dua pekan, pertumbuhan ekonomi Amerika akan turun 0,5 persen. Dan jika sebulan, bisa anjlok 1,4 persen.
Dampaknya akan segera terasa bagi Indonesia, yang ekonominya sedikit-banyak bergantung pada Amerika. Negara adidaya itu masuk dalam tiga besar negara tujuan ekspor Indonesia, di bawah Cina dan Jepang. Pangsa pasar Amerika dalam kegiatan ekspor Indonesia cukup signifikan, hampir 10 persen. Sebelum ekonomi Cina melejit, Amerika selalu menduduki posisi pertama di Indonesia.
Lesunya kegiatan Amerika sebelum masalah buntunya pembahasan anggaran sebetulnya sudah terasa sejak krisis finansial melanda negara itu pada 2005 dan 2008. Selama delapan bulan pertama tahun ini, Indonesia mengekspor hampir US$ 10 miliar ke Amerika, turun 7 persen dibanding nilai dua tahun sebelumnya. Investasi Amerika pada tahun lalu, sebesar US$ 1,24 miliar, juga turun hampir 17 persen dibanding pada 2011.
Jika kebuntuan itu berlangsung lebih lama, perekonomian Amerika pasti akan makin melambat. Indonesia mesti bersiap-siap karena permintaan dari negara itu juga bakal menurun. Kejadian pada 2009, setelah Amerika dihajar krisis, bisa kembali terulang. Saat itu ekspor Indonesia ke Amerika hanya US$ 10,5 miliar, atau jatuh lebih dari 12 persen. Investasi diperkirakan juga tak akan sebesar tahun lalu.
Pilihan tak banyak, karena hampir semua negara menghadapi persoalan ekonomi. Indonesia akan sulit mengandalkan ekspor, baik dari pasar tradisional seperti Cina dan Jepang maupun pasar baru, karena ekspor Indonesia rata-rata turun. Pada saat yang sama, impor justru terus naik. Bahaya tidak hanya karena ekonomi melambat, tapi juga terhadap neraca transaksi berjalan, dan pada akhirnya terhadap nilai tukar rupiah.
Dalam keadaan seperti itu, Indonesia semestinya seperti peselancar yang mampu mengikuti alur ombak, bukan melawannya. Artinya, inilah saat yang tepat bagi Indonesia untuk melakukan konsolidasi. Berbagai perbaikan harus dilakukan, antara lain di pelabuhan yang saat ini masih acak-adut dan mahal, biaya transportasi yang tinggi, dan pungutan liar yang tetap menghantui kalangan bisnis. Persoalan perburuhan juga terus menjadi duri dalam daging yang sulit diselesaikan.
Semua itu diperlukan agar daya saing Indonesia bisa meningkat. Dengan demikian, ketika ekonomi dunia, terutama Amerika dan Eropa, membaik, saat itu Indonesia akan jauh lebih siap berlari lebih kencang.