Seremoni peletakan batu pertama pembangunan mass rapid transit (MRT), Rabu lalu, menandai satu fase penting bagi Jakarta. Dengan dimulainya pembangunan itu, warga Jakarta mendapat kepastian bahwa proyek transportasi tersebut tak lagi terhambat. Semua perdebatan mengenai besarnya biaya dan dasar hukum pembangunannya telah selesai.
Tugas selanjutnya Gubernur Jakarta adalah memastikan bahwa proyek ini akan selesai tepat waktu. Cukup sudah pengalaman Jakarta dengan kegagalan proyek monorel yang hingga sekarang menyisakan monumen tiang rel perusak keindahan kota. Pelaksana proyek pun harus memastikan bahwa pembangunan berskala besar ini tak akan terlalu banyak menyebabkan kemacetan kota.
MRT memang proyek raksasa. Didanai dengan bantuan utang dari JICA, Jepang, proyek tahap I yang menghubungkan koridor Lebak Bulus dengan Hotel Indonesia ini akan menelan biaya Rp 15 triliun. Angka yang luar biasa bila mengingat sebetulnya proyek ini bukan solusi final kemacetan Jakarta. Dengan kapasitas angkut 1.500 penumpang setiap lima menit MRT diberangkatkan, jumlah ini tergolong kecil dibandingkan dengan beban lalu lintas di Jakarta yang tercatat mencapai 40 juta pergerakan setiap hari.
Namun MRT tetaplah salah satu solusi penting untuk mengatasi kemacetan Jakarta yang kian parah. Saat ini, setiap hari kerja, ada 40 juta pergerakan manusia yang harus dilayani di Jakarta. Dari jumlah itu, baru 56 persen yang menggunakan angkutan massal. Sisanya menggunakan kendaraan pribadi. Akibatnya, terjadi ledakan jumlah kendaraan bermotor. Setiap tahun jumlah kendaraan bermotor bertambah 11,26 persen, padahal pertambahan luas jalan di Jakarta tiap tahun hanya 0,01 persen.
Beban itu bisa berkurang jika MRT beroperasi. Digabung dengan pembangunan proyek monorel yang akan segara berlangsung, plus penambahan sarana transportasi publik seperti bus kota, dan manajemen lalu lintas yang lebih terintegrasi, diharapkan kelak lalu lintas di Jakarta jauh lebih nyaman dan manusiawi dibanding sekarang.
Dengan perhitungan itulah, proyek MRT berbiaya raksasa ini memang sepadan untuk dibangun. Kerja keras Gubernur Joko Widodo bersama DPRD merampungkan pembahasan peraturan daerah agar dasar hukum pembangunan MRT tak menghadapi masalah pun patut dipuji.
Yang mesti disadari, dimulainya pembangunan fisik proyek MRT ini baru satu bagian. Masih ada bagian lain yang tak kalah penting, yaitu sosialisasi dan manajemen pengalihan lalu lintas. Sosialisasi penting karena pembangunan jalur MRT, khususnya yang berada di atas permukaan tanah, akan berdampak penggusuran. Dalam soal ini, pendekatan kepada warga yang menolak, seperti yang terjadi di ruas Jalan Fatmawati, perlu dilakukan lebih intensif. Model penyelesaian dengan cara dialog yang selama ini digunakan Gubernur Joko Widodo diharapkan bisa dioptimalkan.
Adapun manajemen pengalihan lalu lintas harus dilakukan dengan cermat karena sebagian pembangunan jalur MRT akan berlangsung di area yang selama ini menjadi langganan kemacetan. Rencana pengalihan arus lalu lintas mesti segera disosialisasi dengan intensif. Hanya mengimbau agar warga Bogor yang hendak ke Jakarta beralih ke kereta rel listrik juga tak cukup. Imbauan ini semestinya dibarengi dengan meminta PT Kereta Api Indonesia menambah jumlah gerbongnya.