PAHLAWAN, kepadamu kami mengadu. Karena kau lebih bisa mengerti. Karena kita seumur. Karena ketika tentara Belanda masuk kota sore itu, dan kau ketemu ibumu sebentar, dan berkata malam itu kau mau menginap di rumah Totok, tidak di asrama, ibumu berkata: "Besok 'kan ulangtahunmu ke-18." Kau cuma ketawa, enggan pada setiap perayaan ulangtahun -- kebiasaan Belanda yang "diturunkan kepada kelas priyayi penjilat" itu. Lalu kau pun pergi. Dengan granat di saku. Dan ketika menjelang dinihari rumah yang dijadikan markas musuh itu bergetar oleh ledakan, dan Para penduduk yang cemas tiba-tiba kembali punya harapan bahwa Belanda tak akan bisa selama-lamanya di sini, ibumu masih belum tahu di mana kau. Cuma Totok yang tahu. "Itu pasti Adi," begitu ia berbisik. Ia mendengar letusan granat itu, lalu tembakan gencar itu, lalu sepi itu. Esoknya tentara Belanda menemukan tubuhmu di dekat balok kayu. Topi bajamu berdarah, mulutmu menggigit sepotong merah putih. Bersama mayat seorang sersan dan dua prajurit musuh yang kau tewaskan malam itu, jenazahmu dibakar. "Anjing Sukarno itu berani sekali, zeg, masih muda," gumam Letnan Otten kepada seorang kenalannya kemudian. Ia benar: kau berani, kau masih muda. Tapi kau bukan "anjing Sukarno." Kau anjing diburu dari pengalaman pahit sebuah bangsa. Kau peran setia dari sebuah ketetapan hati untuk suatu zaman yang baru. Waktu kau dengar pasukan musuh berhasil masuk dari selatan, dan kota kecil itu jadi senyap, kau menangis -- dengan rasa perlu berkorban yang mungkin tak bisa kau terangkan sendiri. Ibumu terhisak-hisak payah malam itu, setelah Totok datang dan bercerita apa sebenarnya yang terjadi. "Siapa yang menyuruhnya... siapa yang menyuruhnya ...." Bapakmu cuma diam, tahu bahwa tak ada siapapun yang menyuruhmu. Mungkin sejarah yang menyuruhmu. Hujan jatuh terlampau pagi barangkali, seperti hendak dikatakan oleh ceritacerita Nugroho Notosusanto dalam Hujan Kepagian, tentang mereka yang bertempur dan tewas untuk tanahairnya, dalam usia begitu muda. Hujan jatuh terlalu pagi mungkin, karena cuaca terlalu buruk. Tapi tak banyak orang tahu betapa cuaca bisa jadi buruk. Letnan Otten juga tidak tahu bahwa anak-anak muda bisa nangis, bisa marah, bisa terluka atau lebih dari itu -- bukan karena soal-soal biasa. Mereka demikian karena melihat sebuah tanahair yang mereka cemaskan akan tenggelam -- sementara tak ada lagi tanahair mereka yang lain. Andries Otten mengira kau dan kawan-kawanmu jadi api karena dikipas orang. Ia lupa anak muda bisa cepat matang oleh zaman yang telah lanjut, ketika sebuah era akan berakhir. Memang tak selalu orang tahu. Tapi kau telah merasakan asinnya laut lewat gelombang, menjelang badai. Ternyata benar juga kata sebuah lagu: "Kita tak perlu juru cuaca untuk menebak ke arah mana angin pergi." You don't need a weatherman to know which way the wind blows - Bob Dylan.
Berita terkait
Mayat dalam Koper, CCTV Rekam Detik-Detik Pelaku dan Korban Masuk Hotel
4 menit lalu
Mayat dalam Koper, CCTV Rekam Detik-Detik Pelaku dan Korban Masuk Hotel
Polisi berhasil menangkap terduga pelaku pembunuhan pada kasus mayat dalam koper