Kembali ke Khitah Pers Profesional

Penulis

Jumat, 5 September 2014 22:14 WIB

Agus Sudibyo
Direktur Eksekutif Matriks Indonesia

Pemilihan presiden 9 Juli 2014 benar-benar telah menguji kredibilitas pers Indonesia. Muncul penilaian umum bahwa pers menjadi bagian dari masalah. Pers dianggap turut memperkeruh suasana politik meskipun harus diakui tetap ada media yang bersikap hati-hati dan proporsional. Karena itulah, ketika pemilihan presiden telah selesai, kini tiba saatnya untuk mengingatkan seluruh komunitas pers Indonesia tentang pentingnya mengembalikan khitah pers profesional sebagai pilar keempat demokrasi.

Dalam tatanan demokrasi modern, fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus dilengkapi dan dikontrol oleh pers yang bebas dan profesional. Meskipun berada di luar sistem politik formal, pers dianggap sebagai pilar keempat demokrasi yang berfungsi mengontrol jalannya kekuasaan. Pers adalah peniup peluit jika muncul indikasi pelanggaran atau kecurangan dalam penyelenggaraan kekuasaan di semua lini dan level pemerintahan. Demokrasi akan maju jika pers bebas menjalankan fungsinya. Sebaliknya, pers juga harus senantiasa menjaga etika dan profesionalismenya.

Mewujudkan komitmen tersebut pada saat ini tentu bukan perkara yang mudah. Beban lebih berat justru ditanggung pers yang telah mendukung atau bersimpati kepada pencalonan Jokowi. Kemenangan Jokowi tidak lepas dari dukungan komunitas pers. Namun, begitu Jokowi menjadi presiden, pers harus kembali menjadi kekuatan pengontrol kekuasaan, tanpa peduli siapa presidennya. Pers harus dapat menanggalkan simpati atau preferensi pribadi kepada Jokowi. Lupakan gambaran Jokowi sebagai "wong cilik" yang harus dibela! Begitu resmi menjadi presiden, Jokowi menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang harus diawasi.

Di sini posisi tim sukses dan pers perlu dibedakan. Ketika Jokowi menjadi presiden, tim sukses tetap dapat mendampinginya dengan menduduki jabatan strategis atau menjalankan fungsi-fungsi ad hoc tertentu. Namun, sebaliknya, pers yang bersimpati kepada Jokowi harus segera kembali kepada posisinya sebagai pers profesional dan kritis terhadap kekuasaan. Sistem demokrasi tak memberi tempat kepada pers yang partisan. Terjadi suatu kemunduran serius jika lima tahun ke depan ada pers yang terus-menerus dan tanpa reserve membela presidennya. Yang dibutuhkan adalah pers yang mampu bersikap proporsional, kritis, dan menjaga etika. Tranformasi dari pendukung calon presiden Jokowi menjadi pengontrol Presiden Jokowi inilah uji kedewasaan dan kematangan berikutnya yang harus dilalui pers Indonesia pada umumnya.

Di sisi sebaliknya, perlu ditegaskan bahwa media massa dan wartawan yang selama ini mendukung Prabowo Subianto tidak perlu menghilangkan sikap kritis kepada Jokowi. Publik justru akan menertawakan mereka jika tiba-tiba berubah jadi memuji-muji Jokowi. Yang harus dihilangkan dari diri mereka adalah kecenderungan menuduh tanpa dasar, menghakimi, dan memfitnah. Yang mutlak harus ditambahkan dalam kinerja mereka adalah disiplin verifikasi dan asas praduga tak bersalah. Sikap kritis dan skeptis terhadap Jokowi justru harus tetap dipertahankan.

Bagaimana dengan Jokowi sendiri? Jokowi perlu menyadari bahwa "bulan madu" dengan pers telah selesai begitu dia resmi menjadi presiden. Selanjutnya, Jokowi harus siap mental menjadi sasaran kritik pers, tak terkecuali pers yang telah mendukung pencalonannya. Dalam hal ini, Jokowi perlu belajar dari Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta. Sebagai gubernur, Ali Sadikin sulit percaya kepada para bawahannya yang selalu datang dengan laporan bertipe "asal bapak senang".

Laporan itu selalu menyatakan penyelenggaraan pemerintahan berjalan baik, meskipun kenyataannya sarat kekurangan dan pelanggaran. Dalam mengevaluasi kinerja pemerintahannya, Ali Sadikin kemudian lebih mengandalkan pemberitaan pers atau kritik lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dia tidak alergi terhadap kritik pedas media atau LSM, bahkan menggunakannya sebagai "audit-gratis" kinerja pemerintahan. Dia tidak perlu menyewa auditor swasta, cukup dengan menyimak kritik media dan LSM yang, meskipun tidak seratus persen benar, tetap dapat digunakan sebagai tolok ukur.

Namun, sebaliknya, Bang Ali tak ragu-ragu memperkarakan kritik yang serampangan atau menghakimi. Ali Sadikin sangat tegas terhadap media atau LSM yang asal tuduh. Sikap yang demikian ini patut menjadi rujukan Jokowi-Jusuf Kalla. Ambil sisi positif pemberitaan media sebagai bahan evaluasi kinerja pemerintah dan jangan ragu-ragu mempersoalkan pemberitaan yang dianggap berlebihan dengan memanfaatkan otoritas Dewan Pers, Komisi Pemilihan Indonesia, bahkan penegak hukum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pers.

Berita terkait

Tulisan Soal Makar, Fadli Zon Akan Laporkan Allan Nairn ke Polisi

25 April 2017

Tulisan Soal Makar, Fadli Zon Akan Laporkan Allan Nairn ke Polisi

Dalam tulisan Allan Nairn, Fadli Zon disebut terlibat dalam upaya makar untuk menggulingkan Presiden Joko Widodo.

Baca Selengkapnya

Disebut dalam Laporan Allan Nairn, Hary Tanoe Lapor ke Polisi  

25 April 2017

Disebut dalam Laporan Allan Nairn, Hary Tanoe Lapor ke Polisi  

Pelaporan Hari Tanoe bermula dari tulisan Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar yang ditulis oleh jurnalis asal Amerika Serikat, Allan Nairn.

Baca Selengkapnya

Diadukan Mabes TNI ke Dewan Pers, Tirto.id: Kami Kooperatif  

24 April 2017

Diadukan Mabes TNI ke Dewan Pers, Tirto.id: Kami Kooperatif  

Sapto berujar, pihaknya akan menunggu mekanisme yang diterapkan Dewan Pers saat menerima pengaduan.

Baca Selengkapnya

Jokowi Jarang Dikritik, SBY: Pers Tak Seganas Dulu  

11 Juni 2016

Jokowi Jarang Dikritik, SBY: Pers Tak Seganas Dulu  

Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono merasa tercengang melihat perubahan pers saat ini.

Baca Selengkapnya

Begini Modus Wartawan Abal-abal Memeras

14 April 2016

Begini Modus Wartawan Abal-abal Memeras

"Yang paling banyak muncul adalah di daerah yang tingkat korupsinya tinggi. Fenomena media abal-abal ini tidak kami temukan di Malaysia atau Singapura."

Baca Selengkapnya

Dulu Pemerintah Tekan Pers, Jokowi: Sekarang Sebaliknya  

9 Februari 2016

Dulu Pemerintah Tekan Pers, Jokowi: Sekarang Sebaliknya  

Presiden Joko Widodo meminta pers patuh terhadap kode etik jurnalistik, terutama media online.

Baca Selengkapnya

Menunggu Presiden Berantas Amplop Wartawan

9 Februari 2016

Menunggu Presiden Berantas Amplop Wartawan

Presiden Joko Widodo memastikan akan menghadiri acara puncak Hari Pers Nasional 2016 di Mataram, Nusa Tenggara Barat, 9 Februari 2016. Dalam acara itu, Jokowi akan diberi panggung untuk berinteraksi dengan kurang-lebih 600 wartawan nasional, petinggi negara, dan tokoh masyarakat. Supaya pertemuan itu bermakna, bantuan atau kebijakan strategis apa yang bisa Presiden keluarkan agar kehidupan pers Indonesia semakin sehat?

Baca Selengkapnya

Pers di Indonesia Dinilai Kena Sindroma Berlusconian  

21 Januari 2016

Pers di Indonesia Dinilai Kena Sindroma Berlusconian  

Kepentingan pemilik media di industri pers dinilai mempengaruhi pemberitaan, mirip seperti Berlusconi di Italia.

Baca Selengkapnya

Dewan Pers: Banyak Media Massa Terkontaminasi Politik

20 Januari 2016

Dewan Pers: Banyak Media Massa Terkontaminasi Politik

Ada fenomena sejumlah pemilik media membentuk partai politik.

Baca Selengkapnya

Giliran Rizal Ramli 'Kepret' Pers: Banyak yang Sibuk Bisnis Pencitraan  

2 November 2015

Giliran Rizal Ramli 'Kepret' Pers: Banyak yang Sibuk Bisnis Pencitraan  

Menurut Rizal Ramli, sudah waktunya pers menjadi bagian dari transformasi bangsa, jangan sibuk dengan bisnis pencitraan.

Baca Selengkapnya